Dia mengatakan anak-anak kesulitan belajar karena fasilitas sekolah jauh dari layak. Hal ini mengingat satu ruangan digunakan untuk dua kelas.
“Selama ini kami sangat terganggu. Termasuk anak-anak dengan kondisi tersebut karena mereka dari kelas 4 misalnya yang sementara belajar karena hanya dipisahkan oleh sekat pembatas yang dari bangku bekas dan papan otomatis. Mereka saling baku lihat begitupun kami juga terganggu dengan suara-suara saat memberi materi pelajaran,” ujar Silva.
Beruntung, warga mau dimintai tolong untuk memperbaiki fasilitas sekolah jika ada sesuatu yang rusak.
“Untungnya warga Dusun Limbong Dewata ketika kami minta tolong untuk memperbaiki sesuatu di sekolah maka warga turun tangan bergotong royong,” tutur Silva.
Akses yang sulit menuju sekolah terkadang membuat para guru terlambat tiba di sekolah. Jika cuaca sedang tak baik maka para guru bisa tidak datang ke sekolah. Pasalnya kerap menemui jalur longsor di jalan menuju sekolah.
Saat kondisi itu terjadi, Silva pun harus mengisi kelas lain untuk memberikan materi pelajaran. Bahkan Silva harus berinisiatif mengajar dari kelas 1 hingga kelas 6.
“Kadangkala saya harus mengajari mereka kalau rekan saya berhalangan datang karena terkendala dengan akses atau cuaca. Jadi saya tuliskan saja materinya di papan tulis, dan saya suruh mengerjakan tugasnya. Kadang saya harus pulang pukul 13.00 siang. Dan sebelum pulang saya tuliskan di papan materi pelajaran untuk kelas satu untuk besok supaya mereka langsung mempelajarinya,” jelas Silva.
Silva berharap dirinya bisa menjadi tenaga pengajar berstatus pegawai negeri sipil (PNS) atau pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Hal ini agar bisa lebih meningkatkan proses belajar mengajar di daerah pedalaman.
“Selama ini saya memang tidak mendaftar di seleksi penerimaan jalur PPPK. (Ini) karena ijazah saya waktu itu tidak linear sesuai persyaratan. Dan saya waktu itu lebih fokus mengajar di sini. Dan sekarang saya berharap bisa jadi tenaga minimal PPPK,” harap Silva.
Baca juga: Cerita PMI Asal Bali Menderita Sakit Parah di Turki, Minta Bantuan Pulang ke Tanah Air
Kondisi Silva saat ini sebenarnya lebih banyak mengeluarkan materi dan energi demi anak-anak bisa sekolah di pedalaman. Dia pun harus melakukan beberapa hal untuk menopang hidupnya.
Mulai dari mengurus ternak hingga berjualan di rumah yang statusnya masih menumpang di permukiman transmigrasi. Hal ini mengingat usaha suaminya di luar daerah juga goyah akibat pandemi Covid-19.
“Kalau pulang mengajar saya buka usaha jualan kecil-kecilan di rumah dan mengurus ternak agar bisa menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. Karena, usaha suami saya juga mengalami goyah akibat pandemi Covid-19, meski usahanya masih berjalan stagnan,” beber Silva.
Kepala Dinas Pendidikan Toraja Utara Martinus Manatin mengapresiasi Silva Paranggai yang suka rela mau mengajar di daerah terpencil di Toraja Utara. Dia pun belum mengetahui ada guru honorer yang bergelar S2 di sekolah pedalaman Toraja Utara.
“Kami mengapresiasi ketika ada orang yang mengabdikan dirinya untuk mengajar tanpa pamrih. Kami harus cek karena data Dapodik kami di Dinas Pendidikan belum ada data itu tentang guru yang mengabdi disana bergelar S2. Mungkin belum diinput atau bagaimana. Tapi apa pun itu, saya berterima kasih dan memberikan reward yang luar biasa kepada orang yang mengabdikan diri di dunia pendidikan,” paparnya.
Dia menyebut masih ada ratusan tenaga honorer yang belum terakomodasi. Namun dia mengaku bahwa anggaran di Toraja Utara masih terbatas.
“Komposisi sekarang jumlah tenaga honorer kami ada 1.181 orang. Sementara yang ada SK nya sekitar 843 orang. Jadi ada selisih 338 orang. Kami tidak ingin sebenarnya tenaga pendidik ini tidak terakomodir. Tetapi apa boleh buat karena anggaran kami tidak mencukupi,” pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.