Salin Artikel

Cerita Silva Paranggai, Guru Honorer Lulusan S2 yang Rela Mengajar di Pedalaman Toraja Utara

Matahari mulai menampakkan sinarnya di balik pegunungan dari ufuk Timur, diiringi dengan suara riuhnya burung-burung. Di saat yang sama, anak-anak pun harus mulai bersiap menuju sekolah. Pasalnya, untuk sampai di sekolah harus berjalan melewati bukit. 

Hal serupa juga harus dilakoni Silva Paranggai, seorang guru honorer di daerah transmigrasi Dusun Limbong Dewata. Sebelum pukul 07.00 Wita, ia harus keluar dari rumah untuk menuruni lembah menuju ke sekolah dengan berjalan kaki.

Dia harus melewati pematang dan mendaki perbukitan dengan jarak tempuh 1 Km. Medan seperti itu harus dilaluinya setiap hari saat menuju ke sekolah.

Setibanya di sekolah, ia langsung mengajak para siswa membersihkan halaman sekolah. Kemudian meminta siswa berbaris sebelum masuk ke ruang kelas. Bahkan, Silva juga memberikan permainan yang ringan dan menyenangkan sebelum masuk ruangan kelas.

Namun sayangnya hal tersebut tidak ditopang dengan fasilitas yang memadai. Pasalnya, SDN 04 Awan hanya memiliki tiga ruang kelas untuk belajar para siswa. Sehingga dalam satu ruangan ada dua kelas yang digabung. Misalnya, kelas 1 digabung dengan kelas 2.

Saat proses belajar, ruangan pun hanya disekat dengan peralatan seadanya, seperti bangku dan papan tulis yang kondisinya telah rusak dan tidak lagi digunakan. 

Kondisi memprihatinkan juga terlihat dari anak-anak yang bersekolah tanpa alas kaki. Meski begitu mereka tetap semangat untuk belajar. 

Di sisi lain, jumlah tenaga pengajarnya pun jauh dari kata cukup. Di SD tersebut hanya ada tiga orang pengajar yang berstatus non-PNS. Silva Paranggai adalah salah satu dari tiga pengajar tersebut.

Silva merupakan guru honorer yang bergelar Sarjana Magister Pendidikan atau S2. Silva mengajar di kelas 5 dan 6. Meski bergelar S2 dan berstatus tenaga honorer, Silva tetap memilih mengabdi mengajar di daerah pelosok di SDN 4 Awan. 

Dalam satu bulan Silva hanya digaji Rp 650 ribu. Meski nilainya terbilang rendah, Silva tidak mempersoalkan hal itu. Baginya yang terpenting adalah bagaimana anak-anak di daerah tersebut bisa sekolah.

“Saya termotivasi dan bertahan di sekolah ini, karena saya melihat masyarakat di sini masih terbelakang soal pendidikan. Dan saat saya datang ke sini, saya lihat warga membutuhkan pendidikan yang lebih. Jadi saya berupaya agar ada perubahan atau ada kemajuan sedikit di bidang pendidikan. Ini yang membuat saya tetap bertahan , meskipun dari segi honor upah atau gaji sangat tidak mendukung,” kata Silva.

Silva mengaku dalam 10 bulan terakhir belum menerima honor dari Pemda Toraja Utara. Meski demikian ia tetap mengajar di sekolah.

“Sudah 10 bulan saya tidak menerima honor. Kalau tahun lalu honor hanya Rp 650 ribu. Tahun sekarang katanya sudah Rp 1 juta per bulan. Tapi kami belum terima satu bulan pun, Semoga bulan ini atau bulan depan sudah cair, karena SK kolektif sudah ada," ujarnya.

"Tapi yang terpenting adalah bagaimana anak-anak supaya ada peningkatan di dalam pendidikan, ini menjadi suatu pelayanan bagi saya untuk melayani anak-anak dengan penuh kesabaran meskipun banyak suka dan dukanya,” lanjutnya. 

Dia mengatakan anak-anak kesulitan belajar karena fasilitas sekolah jauh dari layak.  Hal ini mengingat satu ruangan digunakan untuk dua kelas.

“Selama ini kami sangat terganggu. Termasuk anak-anak dengan kondisi tersebut karena mereka dari kelas 4 misalnya yang sementara belajar karena hanya dipisahkan oleh sekat pembatas yang dari bangku bekas dan papan otomatis. Mereka saling baku lihat begitupun kami juga terganggu dengan suara-suara saat memberi materi pelajaran,” ujar Silva.

Beruntung, warga mau dimintai tolong untuk memperbaiki fasilitas sekolah jika ada sesuatu yang rusak. 

“Untungnya warga Dusun Limbong Dewata ketika kami minta tolong untuk memperbaiki sesuatu di sekolah maka warga turun tangan bergotong royong,” tutur Silva.

Akses yang sulit menuju sekolah terkadang membuat para guru terlambat tiba di sekolah. Jika cuaca sedang tak baik maka para guru bisa tidak datang ke sekolah. Pasalnya kerap menemui jalur longsor di jalan menuju sekolah. 

Saat kondisi itu terjadi, Silva pun harus mengisi kelas lain untuk memberikan materi pelajaran. Bahkan Silva harus berinisiatif mengajar dari kelas 1 hingga kelas 6.

“Kadangkala saya harus mengajari mereka kalau rekan saya berhalangan datang karena terkendala dengan akses atau cuaca. Jadi saya tuliskan saja materinya di papan tulis, dan saya suruh mengerjakan tugasnya. Kadang saya harus pulang pukul 13.00 siang. Dan sebelum pulang saya tuliskan di papan materi pelajaran untuk kelas satu untuk besok supaya mereka langsung mempelajarinya,” jelas Silva.

Silva berharap dirinya bisa menjadi tenaga pengajar berstatus pegawai negeri sipil (PNS) atau pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Hal ini agar bisa lebih meningkatkan proses belajar mengajar di daerah pedalaman.

“Selama ini saya memang tidak mendaftar di seleksi penerimaan jalur PPPK. (Ini) karena ijazah saya waktu itu tidak linear sesuai persyaratan. Dan saya waktu itu lebih fokus mengajar di sini. Dan sekarang saya berharap bisa jadi tenaga minimal PPPK,” harap Silva.

Kondisi Silva saat ini sebenarnya lebih banyak mengeluarkan materi dan energi demi anak-anak bisa sekolah di pedalaman. Dia pun harus melakukan beberapa hal untuk menopang hidupnya.

Mulai dari mengurus ternak hingga berjualan di rumah yang statusnya masih menumpang di permukiman transmigrasi. Hal ini mengingat usaha suaminya di luar daerah juga goyah akibat pandemi Covid-19.

“Kalau pulang mengajar saya buka usaha jualan kecil-kecilan di rumah dan mengurus ternak agar bisa menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. Karena, usaha suami saya juga mengalami goyah akibat pandemi Covid-19, meski usahanya masih berjalan stagnan,” beber Silva.

Kepala Dinas Pendidikan Toraja Utara Martinus Manatin mengapresiasi Silva Paranggai yang suka rela mau mengajar di daerah terpencil di Toraja Utara. Dia pun belum mengetahui ada guru honorer yang bergelar S2 di sekolah pedalaman Toraja Utara. 

“Kami mengapresiasi ketika ada orang yang mengabdikan dirinya untuk mengajar tanpa pamrih. Kami harus cek karena data Dapodik kami di Dinas Pendidikan belum ada data itu tentang guru yang mengabdi disana bergelar S2. Mungkin belum diinput atau bagaimana. Tapi apa pun itu, saya berterima kasih dan memberikan reward yang luar biasa kepada orang yang mengabdikan diri di dunia pendidikan,” paparnya. 

Dia menyebut masih ada ratusan tenaga honorer yang belum terakomodasi. Namun dia mengaku bahwa anggaran di Toraja Utara masih terbatas. 

“Komposisi sekarang jumlah tenaga honorer kami ada 1.181 orang. Sementara yang ada SK nya sekitar 843 orang. Jadi ada selisih 338 orang. Kami tidak ingin sebenarnya tenaga pendidik ini tidak terakomodir. Tetapi apa boleh buat karena anggaran kami tidak mencukupi,” pungkasnya. 

https://regional.kompas.com/read/2022/08/17/020950478/cerita-silva-paranggai-guru-honorer-lulusan-s2-yang-rela-mengajar-di

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke