Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Suku Korowai di Papua Selatan, Hidup di Pohon, Menjunjung Tinggi Hak Ulayat

Kompas.com - 19/04/2022, 14:52 WIB
Roberthus Yewen,
Andi Hartik

Tim Redaksi

Rumah pohon

Masyarakat Suku Korowai dijuluki sebagai manusia pohon lantaran memiliki rumah yang berada di atas pepohonan yang cukup tinggi. Rumahnya bisa di ketinggian puluhan meter.

Pria kelahiran Teluk Wondama, 7 Januari 1969 ini mengatakan, dirinya pernah mendampingi orang Korea melakukan pemutaran film terhadap tempat tinggal masyarakat Korowai. Mereka membangun rumah di atas pohon dengan ketinggian kurang lebih 40 sampai 70 meter.

“Ini merupakan rumah pohon paling tinggi dari yang dibangun oleh masyarakat Korowai pada umumnya. Rumah pohon yang dibangun ini agar dapat berhadapan dengan musuh,” kata Lekitoo.

Baca juga: Mengunjungi Kampung Yokiwa, Segitiga Emas Napas Danau Sentani

Dikutip dari Buku Potret Manusia Pohon, terdapat tiiga tipe rumah Orang Korowai, yaitu:

1. Rumah yang dibangun di atas tiang-tiang tinggi di atas 5 meter.

2. Rumah yang dibangun di atas pohon-pohon tinggi.

3. Rumah yang dibangun di atas tanah berupa bivak-bivak atau rumah-rumah sementara.

“Rumah ini dibangun di atas pohon-pohon yang ketinggiannya bisa mencapai 70-an meter. Bagi orang Korowai semakin tinggi sebuah rumah pohon semakin aman keluarga atau kelompok yang tinggal di rumah pohon tersebut dari ancaman serangan musuh,” tulis Likitoo dalam bukunya tersebut.

Baca juga: Potret Nelayan di Kampung Poumako Mimika, Terpaksa Jual Ikan Harga Murah hingga Perjuangkan Masa Depan Anak

Alumnus Antropologi Universitas Cenderawasih tahun 1993 ini mengatakan, masyarakat Suku Korowai saat ini sudah di-reseltemen atau pemukiman kembali. Namun demikian, masih ada sebagian masyarakat Suku Korowai yang hidupnya masih tradisional.

“Kita lihat saat ini sudah ada masyarakat Korowai yang dilakukan pemukiman kembali. Meskipun masih ada yang kita lihat terisolasi,” kata Lekitoo.

Menurut Lekitoo, ada beberapa kelompok masyarakat Suku Korowai yang di-reseltemen seperti misalnya Kampung Basman. Pada tahun 2011, ia ke sana melihat masyarakat Suku Korowai telah dilakukan pemukiman kembali.

Ia mengungkapkan, program pemukiman kembali terhadap masyarakat Suku Korowai menurut pemerintah sedang membangun kehidupan mereka, tetapi sebenarnya reseltemen ini sebenarnya menyiksa kehidupan mereka yang sebelumnya.

“Kita sedang memukimkan mereka sebenarnya adalah versi kita yang bilang kita membangun, tetapi sebenarnya menyiksa mereka. Karena pasti jauh dari hak ulayat mereka dan pada waktu-waktu tertentu mereka akan kembali ke lokasi yang merupakan hak ulayatnya,” ungkapnya.

Hal ini menurut Lekitoo menjadi persoalan. Sebab, pembangunan mengenai pemukiman kembali ini bagi pemerintah sudah baik, tetapi di sisi lain menyiksa masyarakat setempat. Mereka harus berjalan kaki sekitar satu sampai dua hari baru bisa tiba di lokasi hak ulayat atau dusunnya.

“Saya pernah tanya masyarakat Suku Korowai. Jika mereka mencari dan mengambil orang lain punya sagu di lokasi yang bukan dusunnya, maka bisa menimbulkan konflik seperti perkelahian antara marga atau klien,” tuturnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com