Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Suku Korowai di Papua Selatan, Hidup di Pohon, Menjunjung Tinggi Hak Ulayat

Kompas.com - 19/04/2022, 14:52 WIB
Roberthus Yewen,
Andi Hartik

Tim Redaksi

JAYAPURA, KOMPAS.com - Suku Korowai merupakan salah satu suku asli yang mendiami beberapa kabupaten di wilayah adat Anim-Ha di Papua bagian selatan. Seperti di Kabupaten Merauke, Boven Digoel, Asmat dan Kabupaten Mappi.

Daerah-daerah tersebut direncanakan akan menjadi bagian dari provinsi baru di Papua, yakni Papua Selatan.

Suku Korowai merupakan salah satu suku yang hidupnya berpindah-pindah. Meski begitu, mereka tidak bisa berpindah ke lokasi yang bukan hak ulayatnya.

Baca juga: Potret Kesederhanaan Kampung Favenembu di Perbatasan Indonesia dan Papua Nugini

Seperti apa saja asal usul masyarakat Koroway, budayanya, dan kehidupannya sehari-hari, mulai dari sejak dahulu hingga saat ini.

Asal-usul Suku Korowai

Dikutip dari buku berjudul 'Potret Manusia Pohon' yang ditulis oleh Hanro Yonathan Lekitoo, Orang Korowai juga disebut Klufo Fyumanop. Klufo artinya orang, sedangkan Fyumanop artinya jalan di atas tulang kaki.

Klufo Fyumanop diartikan sebagai orang yang biasa berjalan kaki. Mereka menamakan ini untuk membedakan dirinya dari orang Suku Citak Mitak menggunakan perahu sebagai alat transportasi utama.

Baca juga: Mengenal Noken Asli Suku Kamoro Papua, Dibuat dari Kulit Kayu dan Daun

“Mereka hanya berjalan kaki dan membuat rumah di pohon-pohon tinggi. Bahkan, dalam perang pun mereka hanya berjalan kaki,” kata Lekitoo seperti yang tertulis dalam bukunya tersebut.

Buku yang diterbitkan pada 2012 itu juga menjelaskan mengenai sebutan Korowai yang sebenarnya berasal dari orang Belanda. Berdasarkan sejumlah sumber bahwa orang Belanda lebih mudah menyebut kata Klufo dengan sebutan Korowai.

Namun demikian, orang Korowai sesungguhnya menyebut dirinya Klufo Fyumanop. Orang luar membedakan orang Korowai dalam dua kategori, yakni orang Korowai Besi dan orang Korowai Batu. Orang Korowai Besi adalah orang Korowai yang sudah menerima peradaban modern dengan alat-alat besi, seperti kapak, besi, pisau besi, parang besi dan lain sebagainya.

Sedangkan Korowai Batu adalah mereka yang masih hidup dalam zaman batu dan belum tersentuh oleh peradaban modern. Namun demikian, kesatuan bahasa orang Korowai atau Klufo sebagai identitas utama yang membuat mereka sadar bahwa mereka adalah satu yakni Klufo.

“Selain identitas bahasa, ruang hidup mereka yang terletak di antara dua sungai besar, yakni Sungai Dairom Kabur dan Sungai Sirek menciptakan rasa identitas teritorial di antara kalangan komunitas Korowai atau Klufo,” ungkap Lekitoo, masih dalam bukunya.

Rumah masyarakat Suku Korowai di wilayah Papua Selatan yang dibangun di pohon-pohon tinggi. Ukuran rumah ini bisa mencapai 70 meter di atas pohon besar.KOMPAS.COM/Hanro Y. Likitoo Rumah masyarakat Suku Korowai di wilayah Papua Selatan yang dibangun di pohon-pohon tinggi. Ukuran rumah ini bisa mencapai 70 meter di atas pohon besar.
Junjung tinggi hak ulayat

Bukan hanya Suku Kamoro yang dikenal dengan budaya meramu, Suku Korowai juga merupakan salah satu suku yang secara tradisi mempunyai budaya meramu.

Antropolog Universitas Cenderawasih, Hanro Lekitoo mengungkapkan, Suku Korowai dikenal sebagai peramu yang sehari-hari meramu di wilayah adatnya masing-masing.

Tipe kehidupan Suku Korowai dibagi atas marga atau klien yang secara turun-temurun menjalani kehidupan sehari-harinya dengan meramu di dusun-dusunnya.

Suku Korowai merupakan salah satu suku yang sangat menjunjung tinggi dan menghargai batas wilayah adat dari suku-suku lain yang ada di wilayah Papua bagian selatan.

Baca juga: Tablasupa Papua, Kampung dengan Keindahan Alam Bawah Laut dan Pengamatan Burung Cenderawasih

“Mereka meramu dengan sistem berpindah-pindah, tetapi hanya di kawasan hak ulayatnya sesuai dengan klien dan marganya masing-masing,” ungkap Lekitoo kepada Kompas.com, Selasa (19/4/2022).

Doktor lulusan Universitas Indonesia ini menjelaskan, Suku Korowai sangat menghargai batas adatnya masing-masing. Misalnya, jika mereka berburu kemudian memanah babi, lalu babi tersebut lari dan mati di tanah adat klien atau marga yang lain, maka mereka harus meminta izin terlebih dahulu kepada pemilik tanah tempat babi tersebut mati.

“Mereka sangat menghargai hak ulayat, sehingga kalau mereka panah babi saja, kemudian babi lari dan mati di wilayah adat yang lain, maka mereka harus meminta izin terlebih dahulu,” jelas Lekitoo.

Baca juga: 5 Desa di Teluk Wondama Papua Barat Akhirnya Mendapat Aliran Listrik

Kalau tidak meminta izin, kata Lekitoo, bisa menimbulkan konflik antara marga atau klien yang ada di Suku Korowai. Hal ini lantaran secara turun-temurun mereka sangat menghargai batas wilayah antara klien dan marganya masing-masing.

“Harus kasih tahu dan minta maaf kepada pemilik hak ulayat terlebih dahulu. Karena ini masuk dalam rumah orang lain. Logika kita orang modern kan begitu, sehingga sebelum mengambilnya, harus meminta izin,” katanya.

Suku Korowai juga merupakan salah satu suku di Papua bagian selatan yang berpindah-pindah (nomaden). Meski pun demikian, suku ini tidak bisa berpindah-pindah secara sembarangan. Suku Korowai hanya berpindah di lokasi yang merupakan hak ulayatnya. Mereka tidak bisa berpindah dan membangun kehidupan di lokasi yang bukan hak ulayatnya.

Penulis buku Manusia Pohon ini mengatakan, setiap penjaga marga atau klien yang ada di setiap wilayah adat mengetahui tentang batas wilayah adatnya masing-masing.

“Setiap penjaga marga atau klien mengetahui batas-batas wilayahnya, sehingga mereka akan saling menjaga batas wilayahnya dan mereka tahu tentang batas ulayatnya antara marga dan klien yang ada,” ungkap Lekitoo.

Alumnus Magister Antropologi Universitas Gajah Mada (UGM) ini mengungkapkan, setiap marga atau klien yang ada di Suku Korowai sudah mengetahui mengenai batas-batas wilayahnya, sehingga ketika meramu dengan mencari makanan seperti sagu, ikan, binatang buruan lainnya tidak keluar dari hak ulayatnya.

“Kalau masyarakat asli Suku Korowai mereka sudah saling mengetahui batas wilayahnya, terutama antara marga dan klien. Mereka akan mencari dan membuat rumah di lokasi yang menjadi hak ulayatnya,” ungkap Lekitoo.

Rumah masyarakat Suku Korowai yang dibangun di atas tiang-tiang tinggi di atas 5 meter di wilayah Papua Selatan.KOMPAS.COM/Hanro Y. Likitoo Rumah masyarakat Suku Korowai yang dibangun di atas tiang-tiang tinggi di atas 5 meter di wilayah Papua Selatan.
Rumah pohon

Masyarakat Suku Korowai dijuluki sebagai manusia pohon lantaran memiliki rumah yang berada di atas pepohonan yang cukup tinggi. Rumahnya bisa di ketinggian puluhan meter.

Pria kelahiran Teluk Wondama, 7 Januari 1969 ini mengatakan, dirinya pernah mendampingi orang Korea melakukan pemutaran film terhadap tempat tinggal masyarakat Korowai. Mereka membangun rumah di atas pohon dengan ketinggian kurang lebih 40 sampai 70 meter.

“Ini merupakan rumah pohon paling tinggi dari yang dibangun oleh masyarakat Korowai pada umumnya. Rumah pohon yang dibangun ini agar dapat berhadapan dengan musuh,” kata Lekitoo.

Baca juga: Mengunjungi Kampung Yokiwa, Segitiga Emas Napas Danau Sentani

Dikutip dari Buku Potret Manusia Pohon, terdapat tiiga tipe rumah Orang Korowai, yaitu:

1. Rumah yang dibangun di atas tiang-tiang tinggi di atas 5 meter.

2. Rumah yang dibangun di atas pohon-pohon tinggi.

3. Rumah yang dibangun di atas tanah berupa bivak-bivak atau rumah-rumah sementara.

“Rumah ini dibangun di atas pohon-pohon yang ketinggiannya bisa mencapai 70-an meter. Bagi orang Korowai semakin tinggi sebuah rumah pohon semakin aman keluarga atau kelompok yang tinggal di rumah pohon tersebut dari ancaman serangan musuh,” tulis Likitoo dalam bukunya tersebut.

Baca juga: Potret Nelayan di Kampung Poumako Mimika, Terpaksa Jual Ikan Harga Murah hingga Perjuangkan Masa Depan Anak

Alumnus Antropologi Universitas Cenderawasih tahun 1993 ini mengatakan, masyarakat Suku Korowai saat ini sudah di-reseltemen atau pemukiman kembali. Namun demikian, masih ada sebagian masyarakat Suku Korowai yang hidupnya masih tradisional.

“Kita lihat saat ini sudah ada masyarakat Korowai yang dilakukan pemukiman kembali. Meskipun masih ada yang kita lihat terisolasi,” kata Lekitoo.

Menurut Lekitoo, ada beberapa kelompok masyarakat Suku Korowai yang di-reseltemen seperti misalnya Kampung Basman. Pada tahun 2011, ia ke sana melihat masyarakat Suku Korowai telah dilakukan pemukiman kembali.

Ia mengungkapkan, program pemukiman kembali terhadap masyarakat Suku Korowai menurut pemerintah sedang membangun kehidupan mereka, tetapi sebenarnya reseltemen ini sebenarnya menyiksa kehidupan mereka yang sebelumnya.

“Kita sedang memukimkan mereka sebenarnya adalah versi kita yang bilang kita membangun, tetapi sebenarnya menyiksa mereka. Karena pasti jauh dari hak ulayat mereka dan pada waktu-waktu tertentu mereka akan kembali ke lokasi yang merupakan hak ulayatnya,” ungkapnya.

Hal ini menurut Lekitoo menjadi persoalan. Sebab, pembangunan mengenai pemukiman kembali ini bagi pemerintah sudah baik, tetapi di sisi lain menyiksa masyarakat setempat. Mereka harus berjalan kaki sekitar satu sampai dua hari baru bisa tiba di lokasi hak ulayat atau dusunnya.

“Saya pernah tanya masyarakat Suku Korowai. Jika mereka mencari dan mengambil orang lain punya sagu di lokasi yang bukan dusunnya, maka bisa menimbulkan konflik seperti perkelahian antara marga atau klien,” tuturnya.

Bapak Petrus Gifanop sedang menunjukkan Tali Bano dan Gigi Anjing yang merupakan alat pembayaran mas kawin masyarakat Suku Korowai di wilayah Papua Selatan.KOMPAS.COM/Hanro Y. Likitoo Bapak Petrus Gifanop sedang menunjukkan Tali Bano dan Gigi Anjing yang merupakan alat pembayaran mas kawin masyarakat Suku Korowai di wilayah Papua Selatan.
Pembayaran maskawin

Lekitoo menjelaskan, alat pembayaran maskawin pada orang Korowai berupa tali bono, gigi anjing (banggil) dan babi (gool). Sedangkan penentuan berapa besar maskawin ditentukan berdasarkan permintaan orang ua keluarga perempuan.

Menurut Lekitoo, permintaan gigi anjing sebagai maskawin dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki biasanya didasarkan atas panjang tali gigi anjing. Adapun panjang tali gigi anjing juga bervariasi, mulai dari setengah meter, 1 meter atau 2 meter, tergantung permintaan keluarga dari pihak perempuan.

Untuk mendapatkan 1 meter tali gigi anjing, membutuhkan taring dari anjing sekitar 20 sampai 30 ekor anjing. Seekor anjing bisa diperoleh empat taring.

Cara mengambil gigi -gigi tersebut, yakni dengan menyimpan kepala anjing yang sudah mati di atas pelepah sagu di tempat yang tersembunyi. Kepala anjing itu dibiarkan sampai gigi-gigi anjing itu lepas sendiri. Kemudian, gigi anjing diambil dan dilubangi serta dimasukkan ke dalam seutas tali.

Baca juga: Mengenal Lebih Dekat Kabupaten Mimika, Ibu Kota Calon Provinsi Baru Papua Tengah

“Gigi anjing ini biasanya dipakai sebagai hiasan di leher, sebagai kalung bagi wanita dewasa, remaja maupun anak-anak. Gigi anjing bagi Suku Korowai merupakan barang berharga yang sangat penting dalam kehidupannya,” jelas Lekitoo.

Bahasa dan tarian

Bahasa orang Korowai, kata Lekitoo, termasuk dalam golongan phylum, bahasa-bahasa asli Papua, non-austronesia dan merupakan bagian dari rumpun bahasa Awyu (Ndumut) bagian tenggara serta merupakan golongan bahasa Trans-New Guinea. Adapun struktur klausal atau kalimat adalah subyek-obyek-predikat (SOP).

Baca juga: Pemprov Papua Audiensi dengan Kementerian KP, Perda RZWP3K Papua Disetujui

Contoh strukturl klausalnya yaitu, nup kosul lip (saya sagu makan, maksudnya saya makan sagu atau nup dup lip (saya pisang makan, maksudnya saya makan pisang).

Ini berbeda dari phylum bahasa-bahasa austronesia, yang struktur kalimatnya adalah subyek-predikat-obyek (SPO) seperti lazim dipakai dalam struktur bahasa Melayu dan bahasa Indonesia.

Sebagai contoh, salah satu bahasa phylum Austronesia adalah bahasa orang Wondamen, yaitu i ra so Wasior artinya saya pergi Wasior (SPO).

“Dalam kehidupan sehari-hari orang Korowai menggunakan bahasa Korowai ketika berkomunikasi dengan sesama orang Korowai,” kata Lekitoo.

Selain itu, Lekitoo menjelaskan, orang Korowai mengenal dua jenis tarian yang lazim digunakan dalam setiap aktivitas kehidupan mereka. Yaitu, tarian Kulomon atau tarian tate. Tarian ini sama dengan tarian Asmat, kaki digoyang ke sana kemari, buka tutup kaki secara cepat dengan irama lantunan suara.

“Kulomon biasanya dilakukan ketika perkumpulan waktu pesta ulat sagu. Tarian ini juga berlangsung dari malam sampai pagi hari,” jelasnya.

Tarian Hasam atau tarian busur adalah tarian ketika mereka berlari sambil bernyanyi dan memegang busur dan anak panah. Ini merupakan ekspresi dari tarian perang orang Korowai.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Gempa M 6,1 Guncang Bula

Gempa M 6,1 Guncang Bula

Regional
Suami di Karimun Bunuh Istri Pakai Batang Sikat Gigi

Suami di Karimun Bunuh Istri Pakai Batang Sikat Gigi

Regional
Maju Pilkada Maluku, Eks Pangdam Pattimura Daftar Cagub ke 5 Parpol

Maju Pilkada Maluku, Eks Pangdam Pattimura Daftar Cagub ke 5 Parpol

Regional
Ratusan Ribu Suara Pemilu 2024 di Bangka Belitung Tidak Sah, NasDem Gugat ke MK

Ratusan Ribu Suara Pemilu 2024 di Bangka Belitung Tidak Sah, NasDem Gugat ke MK

Regional
Maksimalkan Potensi, Pj Walkot Tangerang Minta Fasilitas Kawasan Kuliner Parlan Dilengkapi

Maksimalkan Potensi, Pj Walkot Tangerang Minta Fasilitas Kawasan Kuliner Parlan Dilengkapi

Kilas Daerah
Tim SAR Gabungan Kembali Temukan Jasad Korban Banjir Bandang Luwu

Tim SAR Gabungan Kembali Temukan Jasad Korban Banjir Bandang Luwu

Regional
Seorang Petani di Sikka NTT Dikeroyok hingga Babak Belur, 3 Pelaku Ditangkap

Seorang Petani di Sikka NTT Dikeroyok hingga Babak Belur, 3 Pelaku Ditangkap

Regional
KKB Ancam dan Rampas Barang Jemaat Gereja di Pegunungan Bintang

KKB Ancam dan Rampas Barang Jemaat Gereja di Pegunungan Bintang

Regional
Geng Motor Tawuran Tewaskan Pelajar SMA di Lampung, 2 Orang Jadi Tersangka

Geng Motor Tawuran Tewaskan Pelajar SMA di Lampung, 2 Orang Jadi Tersangka

Regional
Ayah Perkosa Putri Kandung di Mataram Saat Istri Kerja sebagai TKW

Ayah Perkosa Putri Kandung di Mataram Saat Istri Kerja sebagai TKW

Regional
Tanah Orangtua Dijual Tanpa Sepengetahuannya, Adik Bacok Kakak di Kampar

Tanah Orangtua Dijual Tanpa Sepengetahuannya, Adik Bacok Kakak di Kampar

Regional
Warga Cianjur Kaget Wanita yang Dinikahinya Ternyata Seorang Pria

Warga Cianjur Kaget Wanita yang Dinikahinya Ternyata Seorang Pria

Regional
Saiful Tewas Usai Ditangkap Polisi, Istri: Suami Saya Buruh Tani, Tak Terlibat Narkoba

Saiful Tewas Usai Ditangkap Polisi, Istri: Suami Saya Buruh Tani, Tak Terlibat Narkoba

Regional
KLB Diare di Pesisir Selatan Sumbar, Ada 150 Kasus dan 4 Orang Meninggal

KLB Diare di Pesisir Selatan Sumbar, Ada 150 Kasus dan 4 Orang Meninggal

Regional
Guru Honorer di Maluku Dipecat Setelah 11 Tahun Mengabdi, Pihak Sekolah Berikan Penjelasan

Guru Honorer di Maluku Dipecat Setelah 11 Tahun Mengabdi, Pihak Sekolah Berikan Penjelasan

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com