Menurut Ketua Tim LPPM IPB University, Prof Manuntun Parulian Hutagaol, keberadaan KJA bukanlah satu-satunya sumber pencemaran di Danau Toba.
Justru, katanya, ada sembilan klaster lainnya yang memberikan efek lebih besar pada pencemaran yang terjadi di danau tersebut.
Klaster-klaster tersebut antara lain adalah sungai-sungai yang mengalir ke Danau Toba seperti Sungai Asahan, kemudian adanya pelabuhan, pencemaran dari bukit yang berasal dari ladang dan desa, aktifitas peternakan, pemukiman dan hotel.
Setelah itu, barulah sisanya disebabkan oleh KJA rakyat dan dua KJA yang dikelola oleh swasta.
Okupasi KJA atas permukaan air di Danau Toba hanya sekitar 0.4 persen dari total permukaan air Danau Toba.
Jauh bila dibandingkan okupasi KJA di Danau Batur yang diperbolehkan sampai 1 persen dari total luas permukaan.
Parulian juga menyebut, setidaknya ada 120 lebih sungai yang bermuara ke Danau Toba dan membawa berbagai limbah dari ladang, peternakan, pemukiman, hotel dan restoran.
Dengan demikian, selain menertibkan KJA, justru klaster-klaster lainnya tersebut juga harus menjadi fokus pemerintah dalam memperbaiki kualitas perairan Danau Toba.
Dengan kata lain, pemerintah seolah-olah memanfaatkan situasi euforia pariwisata di satu sisi dan euforia anti-pencemaran danau di sisi lain untuk memgambinghitamkan budidaya ikan tilapia/nila yang dipelopori oleh KJA-KJA sebagai sumber persoalan satu-satunya.
Pada konteks inilah saya mengatakan bahwa kebijakan prioritas pariwisata dan beberapa surat keputusan Gubernur Sumatera Utara yang melengkapinya tidak didasari oleh diagnosa masalah yang lengkap dan adil.
Dengan hanya menjadikan budidaya ikan tilapia via KJA-KJA sebagai kambing hitam, lalu pemerintah langsung banting setir kepada sektor pariwisata dan meminggirkan sektor usaha perikanan tilapia secara pelan-pelan.
Padahal, kebijakan tersebut tidak disokong oleh diagnosa tentang sumber pencemaran Danau Toba secara detail.
Pemerintah menutup mata pada sumber-sumber pencemaran danau lainnya yang proporsinya jauh lebih besar dibanding usaha perikanan tilapia.
Kemudian juga soal surat keputusan gubernur yang mengubah status danau dari mesotrofik menjadi oligotrofik.
Surat keputusan tersebut tidak konsisten dengan kebijakan yang memprioritaskan sektor pariwisata di Danau Toba.