Karena, status oligotrofik untuk danau nyatanya mengharuskan peruntukan airnya hanya untuk air minum.
Jadi secara regulasi, surat keputusan gubernur tersebut bukan hanya melarang usaha perikanan via KJA-KJA, tapi kegiatan pariwisata di atasnya pun semestinya tidak diperbolehkan.
Artinya, jika pemerintah daerah konsisten, maka surat keputusan gubernur tentang status Danau Toba bisa dijadikan acuan legal untuk memprioritaskan segala rupa usaha pariwisata di Danau Toba.
Tapi nyatanya yang muncul ke permukaan, pemerintah justru menggunakan surat keputusan tersebut sebagai kekuatan legal komplementer atas kebijakan pemprioritasan pariwisata di Danau Toba, yang secara prinsipil bertentangan dengan substansi status danau.
Jadi kembali kepada perspektif kebijakan publik tadi, pertama, pemerintah menelurkan kebijakan pemprioritasan sektor pariwisata di Danau Toba yang tidak didukung oleh diagnosa persoalan yang tepat dan akurat.
Sehingga, sengaja atau tidak sengaja, langsung atau tidak langsung, pemerintah terkesan mengambinghitamkan sektor perikanan tilapia sebagai penanggung dosa utama dari pencemaran di Danau Toba.
Padahal KJA-KJA tidak berperan signifikan dalam menciptakan pencemaran.
Ada banyak klaster pencemaran yang justru tidak dijadikan acuan oleh pemerintah dalam menata Danau Toba.
Dengan kata lain, pemerintah sudah melakukan keteledoran kebijakan publik mulai dari proses awal pembuatan kebijakan, yakni input kebijakan yang tidak akurat.
Kedua, imbas lanjutan dari diagnosa yang kurang akurat tersebut, pemerintah daerah mengubah status danau dari mesotrofik menjadi oligotrofik yang justru tidak konsisten dengan kebijakan besar pariwisata yang disodorkan pemerintah pusat.
Perubahan status danau menjadi oligotrofik menyebabkan danau sekaligus tidak bisa disentuh oleh usaha pariwisata, hanya bisa untuk sumber air minum.
Inkonsistensi antara kebijakan besar pariwisata dengan surat keputusan gubernur di atas memperlihatkan betapa buruknya proses pengambilan kebijakan pariwisata untuk Danau Toba, baik dari pemerintah pusat maupun dari pemerintah provinsi.
Hal penting lain yang sepatutnya dipertimbangkan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi adalah selain KJA milik perusahaan yang jumlahnya tak lebih dari 1000 unit.
KJA milik masyarakat yang jumlahnya hingga 14.000 unit sangat mendominasi bisnis perikanan air tawar di Danau Toba ini.
Tentu saja, nasib 12.000-an manusia menjadi hal yang tidak boleh dipertaruhkan secara sembrono utamanya di kala pandemik masih menjadi momok semua sektor.
Sebagai pemerhati, saya juga berharap bahwa hasil kajian ke depan dapat lebih otentik dan mampu mengakhiri polemik data yang ada.
Demikian pula bisnis perikanan sesungguhnya dapat disinergiskan dengan kegiatan sektor pariwisata.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.