Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Ketika Hanya KJA Jadi Kambing Hitam Pencemaran Danau Toba...

Kompas.com - 22/01/2022, 07:08 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DALAM perspektif kebijakan publik, ketepatan dan keakuratan diagnosa masalah sangat penting dalam menentukan keberhasilan pencapaian target kebijakan dan efektifitas implementasinya.

Jika diagnosa masalahnya kurang akurat, maka target dari kebijakan yang ditelurkan akan sangat berpeluang tidak sesuai dengan harapan.

Untuk itulah diperlukan diagnosa masalah yang tepat dan komprehensif sebagai input kebijakan, sebelum kebijakan ditetapkan.

Idealitas proses kebijakan ini nampaknya kurang diperhatikan oleh pemerintahan pusat dan pemerintahan Provinsi Sumatra Utara saat menetapkan KJA (Keramba Jaring Apung) sebagai sumber pencemaran utama di Danau Toba, lalu menginisiasi sektor pariwisata sebagai penggantinya.

Kebijakan yang menganakemaskan sektor pariwisata tersebut, akhirnya mengharuskan usaha-usaha Keramba Jaring Apung yang selama ini telah terbukti berdampak positif khususnya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menekan angka kemiskinan masyarakat setempat, harus minggir pelan-pelan.

Jika tindak lanjut dari kebijakan tersebut hanya sebatas zonasi atau penataan kawasan, menurut hemat saya, para pelaku usaha KJA akan dengan rela mendukung dan mengupayakannya.

Namun masalahnya, kebijakan tersebut, yang dituangkan di dalam Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 188.44/213/KPTS/2017 tentang Daya Dukung dan Daya Tampung Danau Toba, serta Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 188.44/209/KPTS/2017 mengenai Status Trofik Danau Toba, tidak saja tentang penataan.

Isi surat tersebut mengharuskan para pelaku usaha KJA untuk mengurangi kapasitas produksi jauh di bawah kapasitas yang telah berlangsung hari ini.

SK itu menyebutkan daya dukung Danau Toba untuk KJA harus menjadi 10.000 ton per tahun, dengan tujuan agar kualitas air yang disebut tercemar dapat terkendali.

Benang merah atas sengkarut persoalan bisnis perikanan di Danau Toba ini, yaitu kontradiksi data yang dimiliki Pemprov Sumut melalui SK Gubernur-nya (daya tampung 10.000 ton/tahun), yang berbeda dengan data KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan).

Selain itu, berbeda juga dengan Tim Riset Care LPPM IPB dengan data terbarunya yang menyatakan daya dukung Danau Toba untuk budidaya perikanan berkisar antara 33.810 ton sampai 101.435 ton per tahun.

Hal tersebut nyatanya didasari atas diagnosa masalah yang kurang lengkap dan kurang mendalam.

Pemerintah pusat maupun provinsi, secara sengaja atau tidak sengaja, menumpahkan semua kesalahan kepada usaha KJA atas pencemaran yang terjadi di Danau Toba.

Padahal, menurut penelitian, justru usaha KJA tidak berperan terlalu signifikan dalam mencemari Danau Toba.

Danau Toba di Sumatera Utara.SHUTTERSTOCK/ANDI SYAHPUTRA Danau Toba di Sumatera Utara.

Klaster Pencemaran Danau Toba

Lihat saja, hasil penelitian yang dilakukan oleh Tim Peneliti Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Institut Pertanian Bogor baru-baru ini mengungkapkan bahwa menutup kegiatan budidaya ikan nila/tilapia pada usaha KJA tidaklah signifikan dalam mengurangi pencemaran limbah di kawasan Danau Toba.

Menurut Ketua Tim LPPM IPB University, Prof Manuntun Parulian Hutagaol, keberadaan KJA bukanlah satu-satunya sumber pencemaran di Danau Toba.

Justru, katanya, ada sembilan klaster lainnya yang memberikan efek lebih besar pada pencemaran yang terjadi di danau tersebut.

Klaster-klaster tersebut antara lain adalah sungai-sungai yang mengalir ke Danau Toba seperti Sungai Asahan, kemudian adanya pelabuhan, pencemaran dari bukit yang berasal dari ladang dan desa, aktifitas peternakan, pemukiman dan hotel.

Setelah itu, barulah sisanya disebabkan oleh KJA rakyat dan dua KJA yang dikelola oleh swasta.

Okupasi KJA atas permukaan air di Danau Toba hanya sekitar 0.4 persen dari total permukaan air Danau Toba.

Jauh bila dibandingkan okupasi KJA di Danau Batur yang diperbolehkan sampai 1 persen dari total luas permukaan.

Parulian juga menyebut, setidaknya ada 120 lebih sungai yang bermuara ke Danau Toba dan membawa berbagai limbah dari ladang, peternakan, pemukiman, hotel dan restoran.

Dengan demikian, selain menertibkan KJA, justru klaster-klaster lainnya tersebut juga harus menjadi fokus pemerintah dalam memperbaiki kualitas perairan Danau Toba.

Dengan kata lain, pemerintah seolah-olah memanfaatkan situasi euforia pariwisata di satu sisi dan euforia anti-pencemaran danau di sisi lain untuk memgambinghitamkan budidaya ikan tilapia/nila yang dipelopori oleh KJA-KJA sebagai sumber persoalan satu-satunya.

Pada konteks inilah saya mengatakan bahwa kebijakan prioritas pariwisata dan beberapa surat keputusan Gubernur Sumatera Utara yang melengkapinya tidak didasari oleh diagnosa masalah yang lengkap dan adil.

Dengan hanya menjadikan budidaya ikan tilapia via KJA-KJA sebagai kambing hitam, lalu pemerintah langsung banting setir kepada sektor pariwisata dan meminggirkan sektor usaha perikanan tilapia secara pelan-pelan.

Padahal, kebijakan tersebut tidak disokong oleh diagnosa tentang sumber pencemaran Danau Toba secara detail.

Pemerintah menutup mata pada sumber-sumber pencemaran danau lainnya yang proporsinya jauh lebih besar dibanding usaha perikanan tilapia.

Kemudian juga soal surat keputusan gubernur yang mengubah status danau dari mesotrofik menjadi oligotrofik.

Surat keputusan tersebut tidak konsisten dengan kebijakan yang memprioritaskan sektor pariwisata di Danau Toba.

Karena, status oligotrofik untuk danau nyatanya mengharuskan peruntukan airnya hanya untuk air minum.

Jadi secara regulasi, surat keputusan gubernur tersebut bukan hanya melarang usaha perikanan via KJA-KJA, tapi kegiatan pariwisata di atasnya pun semestinya tidak diperbolehkan.

Artinya, jika pemerintah daerah konsisten, maka surat keputusan gubernur tentang status Danau Toba bisa dijadikan acuan legal untuk memprioritaskan segala rupa usaha pariwisata di Danau Toba.

Tapi nyatanya yang muncul ke permukaan, pemerintah justru menggunakan surat keputusan tersebut sebagai kekuatan legal komplementer atas kebijakan pemprioritasan pariwisata di Danau Toba, yang secara prinsipil bertentangan dengan substansi status danau.

Jadi kembali kepada perspektif kebijakan publik tadi, pertama, pemerintah menelurkan kebijakan pemprioritasan sektor pariwisata di Danau Toba yang tidak didukung oleh diagnosa persoalan yang tepat dan akurat.

Sehingga, sengaja atau tidak sengaja, langsung atau tidak langsung, pemerintah terkesan mengambinghitamkan sektor perikanan tilapia sebagai penanggung dosa utama dari pencemaran di Danau Toba.

Padahal KJA-KJA tidak berperan signifikan dalam menciptakan pencemaran.

Ada banyak klaster pencemaran yang justru tidak dijadikan acuan oleh pemerintah dalam menata Danau Toba.

Dengan kata lain, pemerintah sudah melakukan keteledoran kebijakan publik mulai dari proses awal pembuatan kebijakan, yakni input kebijakan yang tidak akurat.

Kedua, imbas lanjutan dari diagnosa yang kurang akurat tersebut, pemerintah daerah mengubah status danau dari mesotrofik menjadi oligotrofik yang justru tidak konsisten dengan kebijakan besar pariwisata yang disodorkan pemerintah pusat.

Perubahan status danau menjadi oligotrofik menyebabkan danau sekaligus tidak bisa disentuh oleh usaha pariwisata, hanya bisa untuk sumber air minum.

Inkonsistensi antara kebijakan besar pariwisata dengan surat keputusan gubernur di atas memperlihatkan betapa buruknya proses pengambilan kebijakan pariwisata untuk Danau Toba, baik dari pemerintah pusat maupun dari pemerintah provinsi.

Hal penting lain yang sepatutnya dipertimbangkan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi adalah selain KJA milik perusahaan yang jumlahnya tak lebih dari 1000 unit.

KJA milik masyarakat yang jumlahnya hingga 14.000 unit sangat mendominasi bisnis perikanan air tawar di Danau Toba ini.

Tentu saja, nasib 12.000-an manusia menjadi hal yang tidak boleh dipertaruhkan secara sembrono utamanya di kala pandemik masih menjadi momok semua sektor.

Sebagai pemerhati, saya juga berharap bahwa hasil kajian ke depan dapat lebih otentik dan mampu mengakhiri polemik data yang ada.

Demikian pula bisnis perikanan sesungguhnya dapat disinergiskan dengan kegiatan sektor pariwisata.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Bermesraan, 4 Pelanggar Syariat Islam di Banda Aceh Dicambuk 17 Kali

Bermesraan, 4 Pelanggar Syariat Islam di Banda Aceh Dicambuk 17 Kali

Regional
Bupati HST Minta Kader PKK Tingkatkan Sinergi dengan Masyarakat dan Stakeholder

Bupati HST Minta Kader PKK Tingkatkan Sinergi dengan Masyarakat dan Stakeholder

Regional
Bupati Ipuk Raih Satyalancana, Pemkab Banyuwangi Jadi Kabupaten Berkinerja Terbaik se-Indonesia 

Bupati Ipuk Raih Satyalancana, Pemkab Banyuwangi Jadi Kabupaten Berkinerja Terbaik se-Indonesia 

Regional
RSUD dr R Soetijono Blora Luncurkan “Si Sedap”, Bupati Arief: Lakukan Terus Inovasi dan Terobosan Layanan kesehatan

RSUD dr R Soetijono Blora Luncurkan “Si Sedap”, Bupati Arief: Lakukan Terus Inovasi dan Terobosan Layanan kesehatan

Regional
Skenario Golkar, Siap Jadi Wakil jika Bambang Pacul Maju di Pilkada Jateng 2024

Skenario Golkar, Siap Jadi Wakil jika Bambang Pacul Maju di Pilkada Jateng 2024

Regional
Kisah Adi Latif Mashudi, Tinggalkan Korea Selatan Saat Bergaji Puluhan Juta Rupiah demi Jadi Petani di Blora (Bagian 1)

Kisah Adi Latif Mashudi, Tinggalkan Korea Selatan Saat Bergaji Puluhan Juta Rupiah demi Jadi Petani di Blora (Bagian 1)

Regional
Bawaslu Bangka Belitung Rekrut 141 Panwascam, Digaji Rp 2,2 Juta

Bawaslu Bangka Belitung Rekrut 141 Panwascam, Digaji Rp 2,2 Juta

Regional
Polemik Bantuan Bencana di Pesisir Selatan, Warga Demo Minta Camat Dicopot

Polemik Bantuan Bencana di Pesisir Selatan, Warga Demo Minta Camat Dicopot

Regional
Pengakuan Pelaku Pemerkosa Siswi SMP di Demak, Ikut Nafsu Lihat Korban Bersetubuh

Pengakuan Pelaku Pemerkosa Siswi SMP di Demak, Ikut Nafsu Lihat Korban Bersetubuh

Regional
Raih Peringkat 2 dalam Penghargaan EPPD 2023, Pemkab Wonogiri Diberi Gelar Kinerja Tinggi

Raih Peringkat 2 dalam Penghargaan EPPD 2023, Pemkab Wonogiri Diberi Gelar Kinerja Tinggi

Kilas Daerah
Imbas OTT Pungli, Polisi Geledah 3 Kantor di Kemenhub Bengkulu

Imbas OTT Pungli, Polisi Geledah 3 Kantor di Kemenhub Bengkulu

Regional
Sejak Dipimpin Nana Sudjana pada September 2023, Pemprov Jateng Raih 10 Penghargaan

Sejak Dipimpin Nana Sudjana pada September 2023, Pemprov Jateng Raih 10 Penghargaan

Regional
KM Bukit Raya Terbakar, Pelni Pastikan Tidak Ada Korban Jiwa dan Terluka

KM Bukit Raya Terbakar, Pelni Pastikan Tidak Ada Korban Jiwa dan Terluka

Regional
Keruk Lahar Dingin Marapi, Operator Eskavator Tewas Terseret Arus Sungai

Keruk Lahar Dingin Marapi, Operator Eskavator Tewas Terseret Arus Sungai

Regional
Kronologi Pria Bunuh Istri di Tuban, Serahkan Diri ke Polisi Usai Minum Racun Tikus

Kronologi Pria Bunuh Istri di Tuban, Serahkan Diri ke Polisi Usai Minum Racun Tikus

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com