Saat tiba di Pekanbaru, Riau, pada tahun 2015 lalu, ia tak bisa melakukan apapun, termasuk sekolah.
Maka tiap kali melihat anak-anak seusianya berangkat pagi-pagi ke sekolah, ada perasaan iri.
"Mengapa pengungsi tidak boleh sekolah?" tanya Mina.
Sementara keinginan untuk melanjutkan pendidikan, sangat besar. Berkali-kali ia bilang ke ibunya kalau ia mau sekolah demi mengejar mimpi dan cita-cita.
"Tapi ibu saya tak bisa berbuat apa-apa," sebutnya.
Bazira Amini, ibu Mina, membenarkan cerita anaknya itu.
Baca juga: Kisah Pengungsi Afganistan, Bertahun-tahun Terkatung-katung hingga Depresi
Ia bercerita, ambisi anak bungsunya itu tak bisa dibendung. Tanpa pendidikan akan susah untuk Mina mengasah kemampuan dan mengejar cita-citanya.
"Di dunia ini setiap orang ingin mendapatkan ilmu pengetahuan. Begitu juga dia."
Setiap anak termasuk para pengungsi, katanya, harus memperoleh hak atas pendidikan: sekolah.
Sayangnya ketika pemerintah Indonesia membuka pintu kepada anak-anak pengungsi untuk masuk sekolah formal tak banyak yang mengikuti jejak Mina karena kendala bahasa.
"Ada banyak anak-anak pengungsi yang tidak bisa bersekolah, karena masalah bahasa. Dan itu menjadi masalah besar bagi kami," ujar perempuan 54 tahun ini.
Baca juga: Puluhan Imigran asal Afganistan dan Pakistan di NTT Positif Covid-19
Tetapi kata Mina, itu tidak cukup. Ia berkeras ingin menempuh pendidikan formal yang diakui negara.
Selain karena kangen diajari oleh guru, ia juga rindu memiliki teman sebaya di sekolah, dan belajar di dalam kelas.
"Bercanda, bermain, belajar bersama, saya merindukan itu semua."
Namun di sisi lain, ia sadar kekurangannya: tak bisa berbahasa Indonesia. Karena itulah ia berlatih sendiri, dengan bantuan Google dan YouTube.
Baca juga: 2 Warga Afghanistan Berkelahi Saat Unjuk Rasa di Medan
Cukup banyak kosakata yang telah ia kuasai, tetapi masih tak percaya diri untuk berbicara dalam bahasa Indonesia.
"Susah, tidak bisa," katanya malu-malu dalam bahasa Indonesia dan tertawa.
Tiga tahun lamanya ia berdiam diri di rumah lantaran tak bisa sekolah.
Hingga pada tahun 2019 — dengan bantuan IOM Indonesia — Mina bersama beberapa anak pengungsi lainnya untuk pertama kali, bisa masuk sekolah formal di Indonesia.
Di SD Negeri 56 Pekanbaru, Mina ditempatkan di kelas 5.
Dia masih ingat hari itu. Bertemu wajah-wajah baru yang berbeda dengannya. "Kaget," katanya.