WONOGIRI, KOMPAS.com - Bupati Wonogiri Joko Sutopo meminta tokoh masyarakat tidak menikahkan korban dengan pelaku dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual terhadap anak. Pasalnya, model penyelesaian itu akan banyak merugikan korban.
“Saya mengimbau kepada tokoh publik jangan menyelesaikan kasus kekerasan seksual pada anak dengan menikahkan korban dengan pelaku. Karena kalau sudah dinikahkan kemudian dua atau tiga bulan cerai lalu siapa yang bertanggung jawab,” ujar Jekek sapaan akrab Joko Sutopo kepada Kompas.com, Senin (15/11/2021).
Imbauan itu disampaikan Jekek mengingat di beberapa wilayah lantaran faktor tertentu pernikahan menjadi solusi saat terjadi kasus kekerasan seksual yang menimpa anak.
Padahal, kata Jekek, menikahkan pelaku dan korban tidak menyelesaikan masalah lantaran berangkat dalam kondisi yang tidak normal.
Baca juga: Kasus Kekerasan Seksual pada Anak di Padang Meningkat, Pelaku Orang Terdekat, Tetangga hingga Teman
Pertimbangan lainnya, pernikahan dini antara pelaku dan korban kerap berujung perceraian.
Kondisi itu tentu merugikan pihak perempuan selaku korban.
“Pertimbangan lain yang juga perlu dihitung setelah menikah akhirnyah bercerai maka yang dirugikan perempuan terkait tumbuh kembang anaknya hingga mentalnya menjadi persoalan yang sangat krusial,” kata Jekek.
Ia mendapatkan informasi dari camat di Baturetno beberapa waktu lalu pelaku dan korban akan dinikahkan. Pernikahan itu batal dilakukan lantaran pelaku sudah empat kali cerai.
Modusnya, setelah melakukan kekerasan anak di bawah umur, korban dijanjikan akan dinikahi. Begitu bayinya meninggal, perjanjiannya dibatalkan.
Jekek menuturkan, awal menjabat sebagai Bupati Wonogiri tahun 2016, jumlah kasus kekerasan seksual pada anak di bumi gaplek mencapai 86 kasus.
Untuk menekan jumlah kasus kekerasan seksual pada anak, Pemkab Wonogiri saat itu membentuk Satgas Wonogiri Sayang Anak yang turun hingga ke desa-desa untuk pendampingan.
Baca juga: Awas, Orang Terdekat Bisa Jadi Pelaku Kekerasan Seksual Anak
Setelah satgas bergerak ke lapangan, kasus kekerasan seksual terhadap anak turun menjadi 24 setiap tahunnya.
Namun, sejak pandemi, jumlah kasus itu kembali meningkat.
“Sebelum pandemi 24 kasus dalam setahun. Pandemi ini naik lagi. Saat interaksi berkurang maka disitu terjadi penambahan kasus-kasus kekerasan seksual pada anak,” ungkap Jekek.
Menurut Jekek, tingginya kasus kekerasan seksual anak di Kabupaten Wonogiri karena banyak orangtua korban yang merantau bekerja di kota-kota besar, sehingga anak hanya didampingi nenek atau keluarga lain di rumah.