Kesenian topeng itu semakin meluas ketika ada salah satu kurir Nyonya Belanda (seorang wanita kebangsaan Belanda) bernama Pak Kurawan ikut mempelajari kesenian itu di pendopo kadipaten.
Saat itu, tidak sembarang orang bisa belajar di pendopo. Pak Kurawan bisa belajar karena mendapatkan rekomendasi dari tuannya.
Setelah menguasai kesenian itu, Pak Kurawan mendirikan kelompok di Lawang, Kabupaten Malang bagian utara, tempat dirinya menjadi kurir.
“Setelah Nyonya Belandanya itu meninggal, dia pindah ke Desa Mangelan, Kecamatan Kromengan di lereng Gunung Kawi sana. Di sana banyak perkebunan kopi,” kata dia.
Di lokasi itu, Pak Kurawan juga mendirikan kelompok kesenian topeng.
“Menjadi buruh kerja di sana. Kalau siang, bekerja di perkebunan kalau malam ada latihan tari topeng,” ujar dia.
Baca juga: Mengenal Situs Kumitir, Jejak Istana Menantu Pendiri Kerajaan Majapahit
Mbah Serun yang juga buruh perkebunan ikut dalam latihan itu.
Setelah dua tahun belajar kesenian itu, Mbah Serun pulang ke daerahnya di Pakisaji dan mendirikan kelompok kesenian topeng yang kelak menjadi Padepokan Wayang Topeng Asmorobangun.
Setelah Mbah Serun meninggal, padepokan itu diteruskan oleh anaknya bernama Mbah Kiman.
Kemudian dilanjutkan lagi oleh generasi berikutnya, yaitu Mbah Karimun, Pak Taslan dan Tri Handoyo yang menjadi pimpinan saat ini.
Di masa Mbah Karimun ini, warisan Kerajaan Majaphit semakin kental dalam kesenian topeng.
Mbah Karimun membuat topeng dengan karakter tokoh dalam Cerita Panji.
Tidak hanya itu, wayang topeng yang dikembangkan Mbah Karimun menceritakan alur yang ada dalam Cerita Panji.