Apa yang dilakukan Widia, yakni meneruskan usaha yang dibangun kakeknya, lalu ayahnya, tak semata untuk mencari uang.
Meski satu kain bisa dihargai mahal, proses pembuatannya yang bertahun-tahun, membuat "perputaran uangnya susah untuk kehidupan dapur", kata Widia.
Batik memang tak jadi penghasilan utama karena Widia dan suaminya mengandalkan toko sembakonya untuk itu.
Widia bercerita, awalnya dia tak mau meneruskan usaha itu.
Baca juga: UMKM Batik Ini Tembus Ekspor ke Mancanegara Berkat Program Shopee
Namun, beban meneruskan nama batik Oey Soe Tjoen, tiba-tiba jatuh ke pundaknya, dua puluh tahun silam.
Bagi keluarga Tionghoa, meneruskan usaha keluarga bukan hal yang aneh, tapi bagi Widia hal itu tetap terasa berat.
Saat itu, di usianya yang ke-26, rencananya adalah mengejar gelar magister manajemen, bukan menjadi penerus usaha keluarga.
Saat usianya SMA, Widia pernah melontarkan ketidaksukaannya pada batik keluarganya yang berdiri sejak 1925 dan sejak itu laris di kalangan para kolektor.
Baca juga: Motif Asli Indonesia Hanya Batik? Intip Dulu Aneka Motif Lainnya
"Saya pernah bertanya, bagusnya tuh apa sampai orang mati-matian pingin punya batik OST (Oey Soe Tjoen)? Padahal kalau saya pribadi, nggak suka."
Namun, 'utang keluarga', yakni beberapa pesanan batik yang belum selesai harus ditunaikan.
Widia pun terpaksa banting setir.
Demi apa yang disebutnya "balas budi pada orangtua", ia memilih pasrah pada takdir yang menuntunnya menjadi penerus batik Oey.
"Saya punya komitmen, jangan sampai kebesaran Oey Soe Tjoen itu hancur di tangan saya. Jadi, saya berusaha, sekeras apa pun, saya tidak menghancurkan apa yang dimulai oleh papa atau kakek," kata Widia.
Baca juga: Rusun ASN Sleman Siap Huni, Tampilkan Ciri Khas Motif Batik Parijotho