Jari-jari Widia tampak berwarna biru, seperti pewarna kain yang tengah dipakainya.
Ia berdiri memegang satu sisi kain, sementara Kunirah, seorang pembatik yang berusia 53, memegang sisi yang lain, di tempat penjemuran batik di belakang rumahnya.
Kicauan burung-burung juga gonggongan anjing, mengiringi proses penjemuran itu, yang dilakukan sekitar pukul 10.00 pagi, saat matahari bersinar terang, tapi tak cukup terik untuk merusak kain.
Setiap beberapa menit, mereka dengan telaten membalik kain itu agar tiap sisi mendapat sinar mentari.
Baca juga: Batik Merah Putih Kulon Progo, Bertahan Saat Pandemi, Banyak Peminat Jelang HUT RI
Tak lama, kain dengan gambar burung, kupu-kupu, dan bunga khas Oey Soe Tjun berubah warna. Dari yang tadinya kecokelatan, menjadi biru di pinggir-pinggirnya.
Selanjutnya, kain itu dibawa masuk ke dalam tempat pemrosesan batik, sebuah bangunan kecil dengan atap seng beralas bambu.
batik
Tungku menyala berisi air membuat hawa di sana gerah, tapi tampaknya tak mengganggu Widia dan Kunirah, yang selanjutnya sibuk menyuci batik itu dengan air sabun untuk menghilangkan asam dari kain.
Baca juga: 5 Oleh-oleh khas Banyuwangi, dari Kopi Sampai Kain Batik
Setelah itu, pekerjaan dilanjutkan dengan pelorotan atau meluruhkan wax (lilin yang digunakan untuk menutup beberapa bagian kain) dengan air yang direbus dalam tungku.
Dalam proses itu, tangan Widia mengaduk-aduk kain dengan sebuah tongkat. Asap membumbung tinggi, menguras keringatnya.
Itu adalah bagian dari proses panjang pembuatan batik Oey.
Selain dikerjakan ekstra hati-hati, cuaca dan kondisi pembatik juga berperan. Saat musim panen, pembatik biasanya turun ke sawah.
Baca juga: Warga Shalatkan Almarhum Pemilik Batik Danar Hadi Solo, Jenazah Tetap di Mobil
"Kalau mereka turun ke sawah, biasanya saya larang untuk pegang batik karena panas matahari siang akan mempengaruhi fungsi mata mereka.
"Itu terlihat pada hasilnya," kata Widianti.
Hal-hal itu membuatnya membutuhkan waktu hingga tiga tahun untuk membuat sebuah kain, kalau semua sesuai rencana.
Jika tidak, ia rela menghabiskan 10 tahun untuk terus menyempurnakann kainnya.
Baca juga: Pemilik Batik Danar Hadi Solo Santosa Doellah Meninggal, Dimakamkan dengan Protokol Covid-19