Selain upaya Belanda yang terus menghilangkan jejak proklamasi kemerdekaan, di internal pemimpin bangsa juga muncul tiga poros kekuatan.
Poros pertama merupakan poros Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, Sumatera Barat.
Poros kedua, tim yang dipimpin Bung Karno dan Bung Hatta selaku proklamator.
Sementara poros ketiga, TNI pimpinan Jenderal Besar Soedirman.
"TNI ketika itu menilai PDRI sebagai otoritas yang sah, karena kekuasaan sudah diserahkan. Sementara perundingan berjalan dengan tim Bung Karno dan Bung Hatta yang diasingkan di Bangka," kata Elvian.
Beruntung, menurut Elvian, ketika itu tidak terjadi gesekan yang lebih besar, sehingga perundingan berlanjut ke perundingan Roem-Royen.
Namun, dari pihak TNI tetap ogah-ogahan mematuhi hasil perundingan, dengan tidak melakukan penarikan pasukan dari sejumlah wilayah.
Bahkan, TNI sempat melakukan serangan terbuka pada 1 Maret 1949 ke Yogyakarta.
Serangan gerilya yang dikenal dengan perang enam jam di Yogyakarta itu sukses menarik perhatian dunia.
Sementara dari kelompok PDRI dengan legowo kemudian mengembalikan kekuasaan pada dwitunggal Soekarno-Hatta.
Adapun perundingan Roem-Royen pada 14 April hingga 7 Mei 1949 atas prakarsa United Nations Commission for Indonesia (UNCI) di Hotel Des Indes, Jakarta, melahirkan dua kesepakatan utama.
Kesepakatan yang dimaksud yakni, para pemimpin bangsa yang ditawan akan dikembalikan ke Yogyakarta dan dilakukan persiapan menuju Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.