Pesawat yang kebetulan terbang di atasnya bisa dengan tiba-tiba tersedot ke bawah atau terpental.
Lantas perairan di kawasan tersebut juga berbahaya dengan adanya perairan dalam yang berputar.
Kawasan Masalembu juga memiliki arus sangat kencang yang berasal dari barat dan terus memanjang ke Laut Jawa.
Baca juga: Kades Bentak Polisi yang Tegur Acara Pernikahan Warga, DPRD: Kapolsek Over Acting
Selain itu dari Selat Makassar terdapat arus utara yang terjadi akibat perbedaan suhu. Dua arus yang berbeda ini kemudian bertemu di Segitiga Masalembo dengan membawa materi lain termasuk sedimen laut.
Sebagian besar masyarakat yang tinggal di kawasan Masalembu berprofesi sebagai nelayan.
Di kalangan mereka, ada pantangan melaut pada Desember hingga Juni karena pada saat itu, gelombang laut Maselembu sangat tinggi dan besar.
Masyarakat juga mempunyai istilah ‘garis putih’ untuk menggambarkan daerah yang biasanya paling banyak memakan korban.
Garis putih ini adalah batas wilayah aman bagi nelayan untuk melaut dan bagin yang dibatasi adalah bagian yang sakral.
Apabila masih ada yang nekat melewati garis putih ini maka nelayan percaya bahwa orang tersebut tidak akan selamat termasuk kapal dan seluruh bawaannya.
Baca juga: Bentak Kapolsek, Kades: Saya Pejabat Politik, Melaksanakan Perintah Anggota DPRD Sumenep
Dikutip dari Sumenepkab.go.id, Masalembu tak hanya dihuni warga Madura, tapi juga warga keturunan Sulawesi yakni Bugis dan Mandar.
Bahkan tak jarang ada warga keturunan Kalimantan yang tinggal di Maselembu.
"Dulu orang-orang Bugis dan Mandar dimotivasi oleh keinginan untuk lepas dari tekanan penjajah Belanda, sehingga jalan satu-satunya adalah mencari daerah baru yang dipandang aman," cerita Cici (45), keluarga tokoh adat di Masalembu.
Ia bercerita salah satu tokoh yang membuka Maselembu adalah Toan Karaeng yang disebut berasal dari Sulawesi. Ia menuntut ilmu di Mekkah dan dikenal sebagai ulama besar di Maselembu.
Baca juga: Kades Bentak Kapolsek yang Tegur Acara Pernikahan: Tembak Saya, Mana Ada Corona
Namun pulau tersebut disebut juga dihuni sejak abad 17 dan kerap disinggahi saudagar dari Bugis saat kondisi angin tak memungkinkan untuk berlayar.
Terkait nama Masalembu, Darwis warga Desa Masalima bercerita saat orang Bugis datang di pulau tersebut, mereka melihat banyak sapi dan lembu sehingga mereka menyebut Masalembu yang berarti banyak lembu.
“Saat itu, pulau yang masih tanpa nama tersebut penuh dengan hewan jenis sapi atau lembu. Oleh karenanya, orang-orang Bugis menyebut pulau tersebut dengan sebutan Nusa (pulau) Lembu," kata Darwis.
"Namun, lama kelamaan berubah menjadi Masalembu. Masa berarti banyak, jadi Masalembu bermakna banyak lembu. Tanah di pulau itu sangat cocok untuk menanam pohon kelapa, sehingga orang-orang Bugis itu mulai menanam tunasnya,” kata pria berdarah campuran Madura-Bugis-Mandar ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.