KOMPAS.com - Tahun Baru Islam 1 Muharram 1443 Hijriah atau dalam kalender Jawa satu Suro jatuh pada hari Selasa, (10/8/2021).
Dalam budaya masyarakat Jawa, tradisi menyambut satu Suro menjadi momen bagi warga untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Khalik.
Baca juga: Kronologi Polisi Dikeroyok 7 Orang di Kota Solo, Berawal dari Kecelakaan Mobil dan Motor
Melalui tradisi tersebut, warga mencoba menyampaikan syukur secara khusuk sekaligus menaruh harapan yang lebih baik di masa depan kepada Sang Kuasa.
Di tengah tantangan pandemi Covid-19 saat ini, memaknai kembali tradisi Tahun Baru Islam atau satu Suro diharapkan memberi pengharapan baru.
Kompas.com mencoba merangkum sederet tradisi yang digelar saat malam satu Suro:
Salah satu tradisi malam satu Suro yang masih dipertahankan hingga saat ini oleh Keraton Solo adalah kirab kerbau Kyai Slamet.
Di malam satu Suro, prosesi kirab dimulai menjelang tengah malam sekitar pukul 23.00 WIB.
Biasanya, rute kirab dimulai dari Kori Kamandungan Lor Keraton Solo menuju Kawasan Sapit Urang.
Baca juga: Mengenal Malam Selikuran, Tradisi Unik Keraton Surakarta Sambut Turunnya Lailatul Qadar
Setelah itu rute dimulai menyusuri jalan-jalan utama di sekitar keraton.
Kirab ini selalu dihadiri ribuan warga yang menunggu di sepanjang rute kirab.
Di penghujung kirab, warga akan saling memperebutkan sesaji berupa makanan dan pernak-pernik kirab sebagai ujub syukur kepada Tuhan.
Dilansir dari Tribunnews, tradisi mubeng beteng diprakarsai oleh Sultan Agung, Raja Mataram Islam pertama.
Sultan Agung juga saat itu memerintahkan para prajuritnya untuk mengelilingi keraton selain untuk berpatroli juga melantukan doa memohon keselamatan kepada Sang Kuasa.
"Mereka berjaga sambil berdoa mohon kedamaian dan keselamatan untuk pemimpin," kata KRT Wijoyo saat acara pelaksanaan mubeng beteng pada tahun 2018.
Baca juga: Tradisi Mubeng Beteng, Mencari Ketenangan Hati dalam Sunyi
Sejak saat itu, menurut Carik Tepas Ndwara Pura dari Keraton Yogyakarta itu, tradisi mubeng beteng tidak mengalami perubahan sedikitpun sejak pertama kali dilakukan.
Prosesi kirab dimulai dari sisi kiri atau barat keraton. Lalu peserta kirab dilarang berbicara saat alias tapa bisu.
"Selama berjalan mengitari beteng, warga harus dalam posisi Tapa Bisu. Tidak boleh berbicara dan melakukan hal negatif. Fokusnya adalah permohonan pada yang Mahakuasa," papar Wijoyo.
Menurutnya, tradisi itu dilakukan lantaran benda pusaka, termasuk keris, dianggap sakral sehingga perlu dipelihara dan dirawat.
Baca juga: Kisah Mbah Suro dan Orang Rantai di Lubang Tambang Sawahlunto
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.