Ketika berbicang dengan Kompas.com, Tukinem lebih banyak bercerita tentang asal mula bisa tinggal di Desa Boro, Kecamatan Selorejo, Kabupaten Blitar.
Sebelum tinggal di desa yang merupakan tanah kelahirannya itu, Tukinem tinggal di Banda Aceh, Provinsi Aceh, sekitar 20 tahun.
Saat konflik pecah di Aceh, Tukinem mendapat ancaman dari sejumlah oknum.
"Suami saya sudah meninggal waktu itu di Aceh, ketika itu saya sering didatangi orang yang mengancam akan membunuh saya jika saya tidak pulang ke Jawa," ujar Tukinem.
Tukinem pun khawatir dengan ancaman itu. Ia lalu mengajak anak bungsunya yang masih remaja pulang ke Blitar.
Tiba di Blitar, Tukinem tak punya uang untuk membangun rumah yang layak di Desa Boro.
Baca juga: 72 Pasien Covid-19 di RS Lapangan Surabaya Sembuh, 5 di Antaranya Anak-anak
Dengan bantuan saudara dan tetangga, ia membangun rumah dengan dinding batako tanpa konstruksi penguat dan semen yang memadai.
"Ketika gempa (10 April), saya tiduran di tikar di dalam rumah sama cucu. Saya bangun, tahu-tahu rumah jadi terang, ternyata tembok yang di situ roboh," ujar Tukinem menunjuk pada salah satu sisi dinding rumahnya yang kini sudah tertutup rapat.
Tidak hanya salah satu sisi dinding rumahnya roboh, akibat gempa Malang 10 April itu, beberapa bagian lain dari dinding rumahnya retak cukup parah.
Namun Tukinem tetap bertahan di rumah itu. Ia juga tak mau tinggal di rumah sang anak yang berjarak 50 meter dari rumahnya.
Tukinem tetap tinggal di rumah yang mulai ringkih itu. Pun saat gempa magnitudo 5,9 mengguncang rumahnya pada Jumat (21/5/2021) malam.
Pada Sabtu (22/5/2021), Khofifah yang sedang meninjau korban gempa singgah di rumah Tukinem.