BANDUNG, KOMPAS.com - Sejumlah orangtua mengkritisi rumus kalibrasi yang diberlakukan dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahap 1 untuk jalur prestasi. Sementara forum guru juga mempertanyakan skor "siluman" yang membuat total nilai siswa di luar batas kewajaran.
Salah satu orangtua siswa, Yogi Ardhi mengatakan, beberapa variabel yang dihitung adalah nilai 7 mata pelajaran siswa (minus 3 pelajaran muatan lokal), nilai total siswa, jumla siswa di kelas, nilai total tertinggi siswa rangking 1 di kelas, dan rangking siswa pelamar.
"Masalahnya kurikulum 2013 sudah tidak lagi menyertakan sistem ranking dalam buku rapor, tapi kok diberlakukan dalam penilaian," ujar Yogi saat dihubungi Kompas.com, Rabu (23/6/2021).
Yogi mengatakan, sistem ini membuat siswa dengan nilai tinggi namun ranking kelas rendah akan dirugikan.
Baca juga: Pendaftar PPDB Jabar Tahap I Tidak Merata, 40.000 Kuota Tak Terisi
Sementara itu, Ketua Forum Aksi Guru Indonesia (FAGI), Iwan Hermawan mengevaluasi munculnya nilai atau skor siluman di awal-awal pendaftaran PPDB Online 2021.
Contohnya di Cirebon, sempat heboh skor di luar batas kewajaran. Bila normalnya nilai berada di ratusan, namun ini ratusan ribu.
"Ternyata ada salah input nilai," ucap Iwan.
Ia menilai, salah satu penyebab skor siluman ini mencul karena tidak sempurnanya sosialisasi PPDB dari provinsi ke kota/kabupaten, terutama ke operator SMP yang ada di kota/kabupaten.
Ada multitafsir kebijakan bahkan informasi jumlah pelajaran. Ada yang menyebut 7 ada pula yang mengatakan 10.
Akhirnya, nilai siluman tersebut dikembalikan untuk diinput ulang atas instruksi Disdik Provinsi hingga nilai siluman kembali normal.
"Ini disebabkan kurangnya komunikasi akibat pandemi Covid-19," tutur Iwan.
Baca juga: Link Pengumuman Hasil Seleksi PPDB Jabar 2021
Kepala Disdik Jabar Dedi Sopandi mengatakan, berbagai keluhan tersebut menjadi bahan evaluasi pihaknya.
Pertama, ia menyetujui penggunaan ranking dalam rumus kalibrasi tidak sejalan dengan Kurikulum 2013. Namun ia tidak memiliki pilihan karena peraturan menterinya sudah seperti itu.
"Karena itu, bila tidak ada UN (ujian nasional) sebaiknya kembalikan kebijakan ke lokal provinsi," ungkap Dedi.
Dedi mengatakan di awal pendaftaran muncul angka-angka di luar batas kewajaran akibat beda pemahaman di operator SMP. Sebab mau tak mau harus diakui, pandemi membuat kebijakan kurang tersosialisasikan.
Untuk itu pihaknya memberlakukan verifikasi. Nilai yang di atas ambang kewajaran diperbaiki. Bila tidak diperbaiki diberlakukan diskualifikasi.
Kemudian setelah pengumuman, ada yang protes nilai lebih rendah mengalahkan nilai yang tinggi dengan menampilkan foto.
Persoalannya, foto tersebut diambil saat pendaftaran sebelum data yang masuk diverifikasi. Sebab secara sistem tidak mungkin nilai lebih besar tersingkir bila itu satu jalur.
Ia mengingatkan, jalur prestasi dibagi dua, prestasi akademik dan non akademik seperti kejuaraan. Bila nilai yang besar tersalip oleh yang kecil, lihat dulu dari jalur mana.
"Misal, jalur prestasi akademik nilainya 610 tidak diterima, tapi yang 585 keterima. Ternyata yang 585 ini jalur prestasi non akademik. Lihat dulu jalur mana-mananya," ungkapnya.
Ia juga melihat ada egoisme sektoral, lulusan SMP tertentu harus keterima di sekolah tertentu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.