Arsitektur jengki
Ridwan menjelaskan, bangunan yang saat ini menjadi GOR Saparua didirikan pada 1961 sebagai tambahan fasilitas untuk penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) di Jawa Barat.
Fungsi awalnya hanya untuk olahraga bulutangkis, basket dan voli.
Ketika awal dibangun, arsitekturnya menggunakan gaya jengki, yaitu suatu gaya arsitektur khas Indonesia yang terpengaruh Amerika.
Gaya jengki ini muncul tahun 1950-an dan menjadi tren sampai 1970-an.
Gaya arsitektur ini secara bertahap dirombak menjadi gaya arsitektur modern biasa seperti yang terlihat sekarang.
"Saparua ini minim informasi. Saya beberapa kali berdikusi dengan Bu Tuti (Ketua Ahli Cagar Budaya Bandung). Tiap berdiskusi kerap mentok (karena terbatasnya informasi)," ucap dia.
Baca juga: Saat Koil dan /rif Berbagi Kenangan tentang Saparua Bandung
Misalnya informasi arsitek yang membangun.
Ia menduga, arsitek bangunan tersebut satu orang.
Ridwan dan ketua Tim Cagar Budaya pernah mencoba menelusuri arsip-arsip lama, namun tidak juga menemukan.
Kini, bangunan tersebut sudah ditetapkan sebagai situs cagar budaya berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 2018.
"Saparua 1 dari 1.700 bangunan cagar budaya. Angka ini bisa dibilang terbanyak, karena di kota lain ada yang puluhan," kata Ridwan.
Pertunjukan kesenian
Mulai 1980-an, gedung ini cukup banyak digunakan untuk berbagai pertunjukan kesenian, seperti konser band beraliran pop, sampai ke pertunjukan pembacaan puisi oleh WS Rendra.
Lalu, pada pertengahan 1990-an, menurut Ridwan, kawasan GOR Saparua membuka sejarah baru di Bandung, yaitu di bidang musik underground.
GOR Saparua menjadi pentas bagi festival band-band independen dari berbagai aliran musik seperti punk, hardcore, grindcore, ska, hingga black metal.