Salin Artikel

Gedung Saparua, Saksi Sejarah Pergerakan Kolektif Anak Muda Bandung

Sesuai dengan namanya, situs cagar budaya ini sehari-hari digunakan untuk berolahraga.

Namun, bangunan ini ternyata menjadi saksi bisu perjalanan musik cadas di Bandung.

Situs cagar budaya ini melahirkan banyak band ternama seperti Koil, /rif, Burgerkill, Seringai, Jasad, dan lainnya.

Di tempat ini pula anak-anak muda Bandung membangun impian menjadi musisi.

Hal itu yang coba dirangkum oleh film dokumenter "Gelora: Magnumentary of Gedung Saparua".

Lantas, seperti apa sebenarnya sejarah GOR Saparua?

Lapangan olahraga umum pertama

Kepada Kompas.com, pemerhati sejarah dari Komunitas Aleut, Ridwan Hutagalung mengatakan, dulunya lapangan tersebut merupakan lahan kosong yang sering dipergunakan sebagai tempat latihan atau upacara militer.

Pada 1910 mulai dibangun lapangan olah raga untuk publik dengan nama NIAU atau Nederlands Indie Athletiek Unie dan menjadi lapangan olahraga publik pertama di Bandung.

"Jenis olahraga yang umum dilakukan di NIAU terutama adalah atletik, cricket, baseball, dan senam massal," ujar Ridwan, Selasa (8/6/2021).

Tahun 1920-an, lapangan itu banyak digunakan warga Bandung sebagai tempat beraktivitas atau bermain anak- anak.

Lapangan NIAU juga digunakan sebagai area tambahan untuk pelaksanaan Jaarbeurs (pasar tahunan) yang biasa berlangsung sepanjang Juni-Juli setiap tahunnya.

Saat itu, di lapangan kosong Saparua tersebut didirikan panggung tempat dilangsungkannya Krontjong Concours atau semacam lomba menyanyi.

"Di sinilah Ismail Marzuki bertemu dengan calon istrinya, Euis Zuraidah, penyanyi keroncong yang pernah memenangkan salah satu event Krontjong Concours tersebut," kata Ridwan.

Ridwan menjelaskan, bangunan yang saat ini menjadi GOR Saparua didirikan pada 1961 sebagai tambahan fasilitas untuk penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) di Jawa Barat.

Fungsi awalnya hanya untuk olahraga bulutangkis, basket dan voli.

Ketika awal dibangun, arsitekturnya menggunakan gaya jengki, yaitu suatu gaya arsitektur khas Indonesia yang terpengaruh Amerika.

Gaya jengki ini muncul tahun 1950-an dan menjadi tren sampai 1970-an.

Gaya arsitektur ini secara bertahap dirombak menjadi gaya arsitektur modern biasa seperti yang terlihat sekarang.

"Saparua ini minim informasi. Saya beberapa kali berdikusi dengan Bu Tuti (Ketua Ahli Cagar Budaya Bandung). Tiap berdiskusi kerap mentok (karena terbatasnya informasi)," ucap dia.

Misalnya informasi arsitek yang membangun.

Ia menduga, arsitek bangunan tersebut satu orang.

Ridwan dan ketua Tim Cagar Budaya pernah mencoba menelusuri arsip-arsip lama, namun tidak juga menemukan.

Kini, bangunan tersebut sudah ditetapkan sebagai situs cagar budaya berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 2018.

"Saparua 1 dari 1.700 bangunan cagar budaya. Angka ini bisa dibilang terbanyak, karena di kota lain ada yang puluhan," kata Ridwan.

Pertunjukan kesenian

Mulai 1980-an, gedung ini cukup banyak digunakan untuk berbagai pertunjukan kesenian, seperti konser band beraliran pop, sampai ke pertunjukan pembacaan puisi oleh WS Rendra.

Lalu, pada pertengahan 1990-an, menurut Ridwan, kawasan GOR Saparua membuka sejarah baru di Bandung, yaitu di bidang musik underground.

GOR Saparua menjadi pentas bagi festival band-band independen dari berbagai aliran musik seperti punk, hardcore, grindcore, ska, hingga black metal.

Atraksi panggung seperti ini kerap dilakukan band dari Ujungberung, seperti di antaranya Sacriligious.

Band lainnya yang pernah manggung di GOR Saparua di antaranya PAS Band, Burgerkill, Jasad, Dajjal, Pure Saturday, Balcony, Beside Out, Forgotten, Mesin Tempur, Turtle Jr, Runtah, Sandal Jepit, dan lainnya.

Salah satu rekaman legendaris yang pernah diterbitkan dan lahir dari scene awal fenomena GOR Saparua ini adalah album kompilasi "Bandung’s Burning Vol 1" yang dirilis Riotic Records dalam bentuk rekaman kaset.

Film dokumenter

Perjalanan musik cadas itu kini dikemas dalam film dokumenter garapan Alvin Yunata.

Film ini menyoroti perjalanan komunitas musik rock dan metal di Gedung Saparua, Bandung.

Selain itu, film ini menunjukkan bahwa komunitas musik di Bandung memiliki soliditas yang kuat.

"Bahkan dengan keterbatasan, mereka bersatu menjadi sebuah komunal yang solid dan aktif berkreasi untuk menaklukan segala pandangan negatif masyarakat umum di masa lalu," ucap Alvin.

Segala tantangan dan hambatan dilewati bersama-sama untuk kemudian membesar menjadi sebuah industri.

Bagi Alvin, Gedung Saparua merupakan saksi pergerakan kolektif anak muda Bandung.

Gitaris Burgerkill, Eben mengatakan, penonton pagelaran musik di Saparua selalu membludak.

Meski kapasitas gedung 3.000 orang, jumlah penonton yang hadir bisa mencapai 7.000 orang.

Itu pun yang ada di dalam gedung. Sebab di luar gedung masih banyak antrean penonton yang tidak mendapatkan tiket masuk.

Menurut Eben, Saparua memiliki energi dan roh yang kuat.

Bagaimana ia berbagi, bermusik, dan segala hal yang membuatnya seperti sekarang, itu karena Saparua.

Setelah Saparua tak bisa lagi digunakan, ia berharap ada tempat lain yang bisa mengakomodasi semangat anak muda Bandung, khususnya dalam bermusik.

"Bandung kota musik, tapi enggak punya ruang pertunjukan yang proper," tutur dia.

Bagi yang penasaran dengan film dokumenter tentang Gedung Saparua, masyarakat bisa menontonnya mulai 15 Juni 2021.

https://regional.kompas.com/read/2021/06/09/053000378/gedung-saparua-saksi-sejarah-pergerakan-kolektif-anak-muda-bandung

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke