Awalnya, seingatnya, masjid yang kala itu dianggap sebagai ikon netral keagamaan di keraton, menggelar tarawih 20 rakaat dan tiga rakaat salat sunah witir.
"Dalam perkembangannya, jumlah rakaat mengalami perubahan," ujarnya kepada wartawan di Solo, Fajar Sodiq, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Dalam tradisi di Indonesia, tata cara shalat tarawih delapan rakaat biasanya identik dengan organisasi Muhammadiyah. Sebaliknya, praktek tarawih 20 rakaat dilekatkan kepada organisasi Nahdlatul Ulama yang juga memiliki alasan di baliknya.
"Dinamika yang muncul kemudian, yang dilatari masalah sosial-kultural, kemudian mengalami pergeseran [menjadi delapan rakaat]," jelas Muhtarom. "Terjadi perdebatan di situ."
Ketika dihadapkan perselisihan seperti itu, lanjutnya, pengelola masjid memutuskan untuk "tidak masuk ke dalam perdebatan".
"Karena itu masalah furu'iyah (perbedaan pada hal yang tidak penting) interpretasi sebuah hadis yang sama," ujarnya.
Dihadapkan persoalan pelik seperti itu, pihak keraton yang saat itu masih menaungi masjid, memilih untuk berusaha menyatukannya. "Maka kami memfasilitasi semuanya."
Baca juga: Sejarah Masjid Agung Surakarta, Peninggalan Mataram Islam di Kota Solo