Azan Isa berkumandang dari alat pengeras suara masjid, dan peserta shalat berduyun-duyun masuk ke dalam.
Usai shalat Isa, sang Imam kemudian memimpin shalat Isa dan salat tarawih delapan rakaat dan tiga rakaat salat witir.
Imam itu akan mundur dan digantikan oleh imam lainnya untuk menyelesaikan salat witir sebagai penutup salat tarawih delapan rakaat.
Kelompok yang sudah selesai tarawih delapan rakaat lantas meninggalkan masjid. Salah-seorang diantaranya Dian Wahyu Permadi, warga Solo.
Baca juga: Mengenang Jam Matahari di Masjid Magelang
"Kalau 11 rakaat 'kan lebih pendek," kata Dian saat ditanya alasannya memilih jumlah rakaat itu. Dia memilih rakaat yang lebih pendek, lantaran ada acara pada pukul 20.30 WIB yang harus dia datangi.
"Nanti kalau tidak ada acara, mungkin saya pilih yang 21 rakaat," tambahnya, sambil tertawa ringan.
Dian mengaku tumbuh dalam tradisi Nadhlatul Ulama (NU) melalui orang tuanya. Namun dia menyebut dirinya "netral, tidak ikut kelompok sana atau sini."
Baca juga: Masjid di Sragen Tutup 10 Hari Setelah Imam dan Takmir Meninggal karena Covid-19
"Kalau ikut yang 23 rakaat nanti kecapekan 'kan bacaannya tambah panjang sampai satu juz lebih," ujar Dwi Bayu. Dia mengutarakannya sambil terkekeh.
Malam itu merupakan pengalaman pertamanya mengikuti salat tarawih di masjid kuno itu. "Tadi ikut yang 11 rakaat juga lumayan (lama)."
Pada ramadan sebelumnya, Dwi mengaku rajin mengikuti shalat tarawih 23 rakaat di masjid di dekat rumahnya di Sukoharjo.
Baca juga: Gubernur Kalbar: Masjid Tak Gunakan Prokes, Tak Akan Dibantu APBD untuk Kegiatan
"Tapi di sana bacaan surat-suratnya lebih pendek dan cepat," katanya.
Namun sambung Bayu, dirinya tertantang untuk mencoba tarawih 23 rakaat di Masjid Agung yang biasanya selesai pada pukul 21.00 WIB.
"Besok-besok saya ingin mencoba ikut yang 23 rakaat di Masjid Agung," ujarnya, setengah berharap.
Baca juga: Masjid Roudhotul Muchlisin, Ikon Wisata Religi Jember Bernuansa Turki dan Madinah