NUNUKAN, KOMPAS.com – Garam gunung Krayan di perbatasan RI–Malaysia di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, kini ibarat pepatah ‘hidup segan mati tak mau’.
Pernah menjadi rebutan oleh pembeli dari Malaysia sebelum pandemi Covid-19, saat ini stok garam banyak menumpuk di rumah-rumah garam di dataran tinggi Krayan.
Ketua Asosiasi Garam Gunung Krayan Yosep Tilo menuturkan, sejak Malaysia memberlakukan lockdown tidak ada lagi pembelian dalam jumlah besar.
"Sekarang enggak ada satu pun yang beli dari Malaysia. Padahal sebelum pandemi mereka selalu panjar untuk ambil hasil produk garam setiap hari," ujarnya, dihubungi, Jumat (19/3/2021).
Baca juga: Produksi Garam Gunungkidul Mati Suri, Puluhan Petani Garam Pilih Jadi Buruh Bangunan
Di dataran tinggi Krayan, ada 11 sumur garam yang dikelola masyarakat sekitar.
Masing masing, Sumur Pa’ Nado, Long Api, Pa’ Bettung, Pa’ Kebuan, Pa’ Terutun, Padat Karya, Long Bawan, dan masing masing 2 sumber di Long Layu dan Ba’ Liku.
Uniknya, ada jadwal pengelolan sumur garam secara bergilir.
Setiap pekannya, ada 1 Kepala Keluarga (KK) yang mendapat giliran mengelola sumur garam tersebut.
Dalam sehari semalam, produksi garam di Pa’ Nado berkisar antara 25 sampai 50 kg.
Biasanya pembeli dari Malaysia membeli seharga Rp 55.000 per kg.
Garam gunung Krayan kemudian dijual ke Brunei Darussalam hingga ke Filipina.
"Tapi sejak pandemi Covid-19, hanya Pa’ Nado dan Pa’ Kebuan yang beroperasi. Itu pun hanya dijual skala lokal, untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat sekitar," keluhnya.
Baca juga: Garam Tak Laku Lagi, Buruh Angkut di Pesisir Demak Alih Profesi Cari Kepiting
Menurut Yosep, garam gunung Krayan diminati karena mengandung yodium tinggi.
Banyak suku Miri di Sarawak, Malaysia, yang mengidap gondok terobati dengan garam gunung Krayan.
Garam Krayan yang berbentuk serbuk ini memiliki kelebihan mengikat kandungan klorofil dalam sayuran, sehingga warna daun saat dimasak tetap hijau dan memiliki tampilan menarik karena tekstur dan warnanya tidak berubah.