Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Setahun Pandemi, Cerita Para Ibu yang Berprofesi sebagai Dokter, Beban Ganda Jadi Guru hingga Urus Keluarga

Kompas.com - 03/03/2021, 06:16 WIB
Rachmawati

Editor

Almira Aliyannissa, dokter sekaligus ibu menyusui

Menyusui bayi tiga bulan menjadi tantangan tersendiri bagi Almira Aliyannisa pada masa pandemi Covid 19.

Ibu tiga anak ini harus mengelola persediaan ASIP (air susu ibu perah) agar kebutuhan ASI bagi bayinya terpenuhi saat dia bekerja sebagai seorang dokter spesialis anak di sebuah rumah sakit swasta di Kota Bandung.

Rutinitas keseharian dalam memberi nutrisi terbaik bagi anak ketiganya itu, tidak jauh berbeda dengan dua anaknya yang lain.

Tapi, kegiatan memerah di sela-sela jam praktiknya, tentu lebih sulit dibanding masa sebelum pandemi. Apalagi, saat praktik atau menangani pasien Covid 19, Almira harus mengenakan APD lengkap.

Baca juga: Setahun Pandemi Covid-19 di Indonesia, Ini Cerita Mereka yang Bangkit dari Keterpurukan Ekonomi

Perempuan 32 tahun itu tak ingin membawa virus ke rumah dan menulari keluarga tercintanya.

"Kalau sekarang kan jadinya semuanya ekstra hati-hati. Mulai dari memastikan kelengkapan APD ketika praktik, harus memakai cap [penutup kepala], masker N95, gown (jubah kain)."

"Kemudian mandi dulu di rumah sakit, baru pulang ke rumah. Terus setiap pulang ke rumah, kacamata, handphone, jam tangan, itu semua dilap dulu pakai kapas alkohol sebelum bisa dipakai lagi," tutur Almira.

Baca juga: Setahun Pandemi Corona, 3 Alasan Kebijakan Pengendalian Covid-19 Gagal Total

Almira sempat mendapat saran dari keluarga besarnya agar cuti sebagai dokter dan tidak menangani pasien Covid-19 lantaran khawatir tertular dan menularkan Covid ke anak-anaknya. Namun, Almira berusaha meyakinkan keluarganya bahwa dia bisa menjaga diri.Dok.Pribadi Almira sempat mendapat saran dari keluarga besarnya agar cuti sebagai dokter dan tidak menangani pasien Covid-19 lantaran khawatir tertular dan menularkan Covid ke anak-anaknya. Namun, Almira berusaha meyakinkan keluarganya bahwa dia bisa menjaga diri.
Almira sempat mendapat saran dari keluarga besarnya agar cuti sebagai dokter dan tidak menangani pasien Covid-19 lantaran khawatir tertular dan menularkan Covid ke anak-anaknya.

Namun, Almira berusaha meyakinkan keluarganya bahwa dia bisa menjaga diri.

"Untung keluarga besar saya banyak yang dokter, jadi mereka bisa paham," kata dokter yang menangani pasien Covid-19 pada anak-anak di RS Edelweis Kota Bandung itu.

Almira mengaku tidak terlalu merasakan kelelahan atau stres menjalani tugasnya di masa pandemi ini.

Baca juga: Respons Pemerintah Selama Setahun Tangani Pandemi Dinilai Kadang Baik, Kadang Buruk

Terlebih lagi, pasien anak yang ditanganinya tidak banyak dan sebagian besar bergejala sangat ringan.

Tugas dirasa berat bagi Almira justru ketika berperan sebagai guru bagi anak pertamanya, yang duduk di kelas 2 SD. Almira khawatir anaknya kurang optimal mendapatkan pendidikan.

"Memang 'pressure' tambahan itu lebih ke anak pertama. Anak saya sekolah kan dan sudah setahun ini school from home. Nah itu yang sebenarnya agak berat yah karena jadinya kita orangtua yang harus betul-betul memastikan efektivitas pembelajarannya."

"Jadi sebenarnya yang lebih struggle itu di situ. Pulang ke rumah nggak bisa istirahat karena kita benar-benar mengulang lagi pelajaran yang di sekolah," papar ibu dari tiga anak masing-masing berumur 7 tahun, 2 tahun, dan bayi 3 bulan itu.

Baca juga: Setahun Pandemi, Plt Wali Kota Tasikmalaya Fokus Cegah Klaster Baru Covid-19

Almira tidak memungkiri mengalami lelah saat menjalankan dua peran, sebagai dokter dan guru bagi anaknya. Namun, ia memilih tidak memaksakan diri.

Saat ini, Almira mengungkapkan, peran dalam membimbing dan mendidik anak-anaknya memang belum banyak bisa dibagi dengan suaminya yang sedang menjalani pendidikan konsultan dan juga sibuk dengan tugasnya sebagai dokter yang menangani pasien Covid 19 di tiga rumah sakit yang berbeda.

Tapi, Almira merasa sangat terbantu dengan dukungan suami di kala senggang, keluarga besar, dan keberadaan asisten rumah tangga di rumah.

Baca juga: Setahun Covid-19, Kebijakan PSBB Dikenalkan sebagai Solusi Tekan Penyebaran Kasus Tanpa Harus Lockdown

Anak pertamanya pun mulai bisa membantu menjaga adik saat diperlukan.

"Kalau kondisi saya sekarang, memang agak sulit (berbagi tugas). Soalnya suami saya lagi pendidikan konsultan, pegang tiga rumah sakit, jadi sibuk sekali. Jadi dalam kondisi ini, saya lebih banyak handle semua," kata lulusan Fakultas Kedokteran Unpad ini.

Almira menyakini dia dan suami memiliki peran dan tanggung jawab yang berbeda.

Sebagai seorang ibu, tugas utamanya mengurus rumah tangga dan anak, sedangkan suami bertanggung jawab menafkahi keluarga.

"Prioritas pertama tetap anak-anak di rumah. Kalau ada kesempatan, di antara waktu saya, saya ada kemampuan bisa bekerja juga, ini adalah bonus saja, bukan prioritas utama," ucapnya.

Baca juga: Setahun Covid-19, Kebijakan PSBB Dikenalkan sebagai Solusi Tekan Penyebaran Kasus Tanpa Harus Lockdown

Dampak psikologis tenaga kesehatan saat pandemi

(Foto Ilustrasi). Seorang tenaga kesehatan sedang menunggu giliran divaksinasi di Jakarta.SOPA/Getty Images (Foto Ilustrasi). Seorang tenaga kesehatan sedang menunggu giliran divaksinasi di Jakarta.
Pandemi Covid 19 diketahui memberikan dampak psikologis pada tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit dan merawat pasien positif Covid-19.

Penelitian Kementerian Riset dan Teknologi - Badan Riset dan Inovasi Indonesia - memperlihatkan sebagian besar dari 644 reponden tenaga kesehatan mengalami kecemasan dan stres. Sementara sebagian kecil mengalami depresi.

Hasil penelitian yang dipublikasikan pada 2020 ini menunjukkan sekitar 65,8 persen responden tenaga kesehatan di Indonesia mengalami kecemasan akibat wabah Covid-19.

Dari angka itu, sebanyak 3,3 persen mengalami kecemasan sangat berat dan 33,1 persen mengalami kecemasan ringan. Sedangkan yang mengalami stres sebesar 55 persen dengan tingkat stres sangat berat 0,8 persen dan stres ringan 34,5 persen.

Baca juga: Setahun Covid-19, Jakarta Jadi Provinsi Pertama yang Tutup Sekolah dan WFH

Adapun tenaga kesehatan yang mengalami depresi sebesar 23,5 persen. Tingkat depresi sangat berat 0,5 persen dan ringan 11,2 persen.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com