Banyak jalan yang longsor, terutama di beberapa tebing curam yang dilewati, sehingga mobil harus ekstra hati-hati saat melintas. Belum lagi jalan berlubang setinggi paha orang dewasa, menghiasi jalan.
Ban mobil kerap tersangkut, tetapi berkat keterampilan mengemudi yang dimiliki Maksensius Dei, mobil tetap melaju meski jarum di speedometer tidak sampai lima kilometer per jam.
Kubangan lumpur bekas sisa hujan dua hari lalu belum mengering di jalan, sehingga rute yang kami lewati mirip jalur off-road.
Beruntung hari itu tidak hujan, tentu sangat membantu perjalanan kami, walau tertatih-tatih dan knalpot kerap berbenturan dengan batu.
Dalam perjalanan, kami tidak pernah berpapasan dengan kendaraan, baik roda dua atau empat.
Hanya tiang listrik yang berdiri kokoh menemani kami di sepanjang jalan.
Setelah berjalan satu jam, kami pun tiba di Desa Fatumetan. Masih dengan kondisi jalan yang sama, namun desa itu telah menikmati jaringan listrik sejak Februari 2019.
Sinyal telepon seluler yang semula penuh, seiring perjalanan waktu lantas menghilang dengan sendirinya.
Perjalanan pun dilanjutkan. Tepat di perbatasan antara kedua desa, jalannya dipalang menggunakan empat batang bambu. Kami bertiga kemudian turun dari mobil dan memindahkan bambu.
Rupanya, rute menuju Desa Fatusuki, kondisi jalannya lebih parah dari sebelumnya. Kami sempat ragu melanjutkan perjalanan.
Baca juga: Gubernur NTB dan Pejabat Berenang Bareng, Satpol PP Dalami Dugaan Pelanggaran Prokes
Herwin Awang sempat bercerita tentang mobil yang mereka tumpangi terjebak dalam kubangan lumpur pada pertengahan Desember 2020.
Herwin dan beberapa rekannya, terpaksa berjalan kaki sejauh dua kilometer meminta bantuan warga sekitar, guna mengevakuasi mobil.
"Bulan lalu, kami sempat bermalam di lokasi ini akibat mobil terjebak kubangan lumpur," ujar Herwin.
Tetapi, Maksensius Dei yang duduk di kursi kemudi, tetap pada pendiriannya untuk melanjutkan perjalanan.
"Kalau tidak hujan, kita coba saja jalan terus," kata Maksensius optimistis.
Maksensius sudah tiga kali mendatangi Desa Fatusuki untuk monitoring. Ia punya pengalaman bergelut dengan medan menantang itu. Sedangkan Herwin dua kali dan saya baru pertama kali.
Benar saja, jalan yang kami lalui, benar-benar menguji adrenalin. Banyak jalan yang longsor persis di tepi jurang.
Lebar jalan pun pas untuk ukuran ban mobil. Butuh skil yang mumpuni untuk melintasinya. Turunan dan tanjakan penuh lubang dan bebatuan, kami lewati dengan susah payah.
Puncaknya ketika akan masuk ke Desa Fatusuki, atau persisnya di Sungai Fatusuki, mobil tidak bisa mendaki, karena tanah longsor hampir memutus separuh jalan.
Beberapa kali Maksensius berusaha melintasi sisi kiri jalan, namun upaya itu pupus akibat ban mobil nyaris masuk ke jurang.
Mobil pun terpaksa mundur. Saat berjalan mundur, mobil malah terperosok dan terjebak di dalam sungai dan tersangkut di batu berukuran besar.