Ketergantungan dengan kedelai impor tentu menyulitkan.
Akibatnya, produsen sering kesulitan ketika harga tidak stabil seperti ini.
Karenanya, ia menyiasati dengan mengecilkan ukuran produksi yang nantinya akan dijual eceran oleh pedagang.
Dalam situasi sekarang ini, Mamik berharap adanya campur tangan pemerintah untuk mensubsidi harga kedelai.
“Persoalan harga kedelai semua tetap akan tergantung permintaan pasar. Kami ikuti saja,” kata Mamik.
Dampak kenaikan harga kedelai sampai ke pedagang tahu dan tempe di pasar.
Pedagang keliling asal Hargowilis, Ngatiyo mengungkapkan, tidak sedikit pembeli yang beralih ke produk lain karena perubahan ini.
Ngatiyo biasanya menjual sebungkus tahu isi enam potong dengan harga Rp 5.000.
Kini, ukuran tahu semakin kecil tentu membuat pembeli memilih beralih ke produk lain.
Dulu, ia bisa menjual hingga 40 bungkus plastik dalam satu hari, kini cuma 30 bungkus.
“Sudah lama saya beritahu kalau harga kedelai tinggi. Yang lansia biasanya tidak mau (beli). Mereka memilih beli yang lain,” kata Ngatiyo.
Situasi semakin rumit akhir-akhir ini.
Penyebabnya, pandemi membuat daya beli masyarakat turun, bantuan pemerintah justru membuat permintaan produk kedelai turun karena warga beralih ke produk non kedelai.
“Bukan (semata) hanya karena persaingan,” kata Ngatiyo.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan