Menurut Bahri, ada dua macam nelayan lobster. Ada yang terikat perusahaan dan ada yang tidak terikat.
Nelayan terikat dengan perusahaan adalah yang alat tangkapnya difasilitasi oleh perusahaan melalui tengkulak.
Akibatnya, mau tidak mau nelayan itu harus menjual kepada tengkulak berapa pun harganya.
Sedangkan tipe yang kedua, nelayan lobster sepertinya memilih untuk membuat alat tangkapnya sendiri dengan biaya dari kantong pribadi.
Baca juga: Sudah Terima Surat Mundur Edhy Prabowo, Sekjen Gerindra: Diteruskan ke Prabowo
Nelayan semacam ini lebih leluasa memilih untuk menjual lobster kepada tengkulak yang menawarkan harga yang paling tinggi.
Kendati demikian, tipe petani lobster seperti Bahri sangat jarang lantaran untuk membuat satu keramba dan alat tangkap membutuhkan minimal uang Rp 5 juta, hal itu sangat sulit bisa dilakukan masyarakat.
Bahri mengakui, adanya Peraturan Menteri Perikanan dan Kelautan (Permen KP) Nomor 12/2020 sedikit membuat dirinya lega untuk menangkap benur.
Hanya saja, nelayan tetap tidak akan diuntungkan selama harga jual masih dipermainkan sesuai yang diinginkan tengkulak.
Baca juga: Edhy Prabowo Ditangkap KPK, Gerindra Minta Maaf ke Jokowi-Maruf Amin
Dia berharap pemerintah dapat melakukan pelatihan soal budidaya lobster.
Bukan saja tentang ekspor, melainkan juga bagaimana cara mengembangkannya sehingga mampu membudidaya lobster.