Salin Artikel

Cerita Nelayan Benur di Lombok yang Hidupnya Tak Tentu karena Tengkulak

Dia baru saja pulang mengangkat alat tangkap benih lobster di keramba.

Hari itu, Bahri tidak mendapat banyak lobster, hanya 16 ekor, lantaran musim hujan saat ini yang sangat memengaruhi tangkapan.

“Musim-musim saat ini benih lobster jarang, semalam ini kita hanya dapat 10, 16 biji (benur),” tutur Bahri kepada Kompas.com.

Bahri menuturkan, pada musim tangkapan pada Februari hingga Agustus, tangkapan benih lobster mencapai ratusan ekor.

“Kalau musim kemarin-kemarin dari bulan dua (Februari), Agustus itu banyak kita dapat biasanya ratusan benih lobster, semalam itu kita dapat Rp 2 juta,” kata Bahri.

Nelayan muda itu mengaku, harga lobster yang dijual ke pengepul sangat tidak menentu.
Kadang dihargai di bawah Rp 5.000, kadang juga belasan ribu rupiah.

“Misalkan hari ini diambil sama pengepul itu Rp 15.000, hari besok di bawah Rp 5.000, itu bisa,” kata Bahri.

Perubahan harga jual lobster, menurut Bahri, tentu tidak baik bagi nelayan.

Dia menyebutkan, saat nelayan mendapatkan banyak benih lobster, tiba-tiba harganya turun anjlok di bawah Rp 5.000.

Waktu harganya anjlok, Bahri pernah cuma mendapatkan Rp 50.000 dari hasil tangkapan benur.

Uang sebesar itu, hanya cukup mengganti uang biaya operasional bensin per tahunnya.

Nelayan terikat dengan perusahaan adalah yang alat tangkapnya difasilitasi oleh perusahaan melalui tengkulak.

Akibatnya, mau tidak mau nelayan itu harus menjual kepada tengkulak berapa pun harganya.

Sedangkan tipe yang kedua, nelayan lobster sepertinya memilih untuk membuat alat tangkapnya sendiri dengan biaya dari kantong pribadi.

Nelayan semacam ini lebih leluasa memilih untuk menjual lobster kepada tengkulak yang menawarkan harga yang paling tinggi.

Kendati demikian, tipe petani lobster seperti Bahri sangat jarang lantaran untuk membuat satu keramba dan alat tangkap membutuhkan minimal uang Rp 5 juta, hal itu sangat sulit bisa dilakukan masyarakat.

Bahri mengakui, adanya Peraturan Menteri Perikanan dan Kelautan (Permen KP) Nomor 12/2020 sedikit membuat dirinya lega untuk menangkap benur.

Hanya saja, nelayan tetap tidak akan diuntungkan selama harga jual masih dipermainkan sesuai yang diinginkan tengkulak.

Dia berharap pemerintah dapat melakukan pelatihan soal budidaya lobster.

Bukan saja tentang ekspor, melainkan juga bagaimana cara mengembangkannya sehingga mampu membudidaya lobster.


Pengepul

Abdul Wahib, salah seorang pengepul lobster, mengaku ada permintaan penundaan dari ekspotir setelah Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Saya tanya kemarin, bagaimana sekarang soal pengiriman, katanya bos (eksportir) nanti dulu, katanya sementara waktu ditutup dulu," kata Wahib ditemui Kompas.com, Kamis (26/11/2020).

Wahib mengaku tetap akan membeli lobster dari nelayan, tetapi dihargai murah lantaran akan ditaruh di keramba untuk sementara waktu.

Disampaikan Wahib, saat ini harga lobster yang dibeli dari nelayan seharga Rp 5.000 untuk jenis pasir, sedangkan jenis mutiara seharga Rp 20.000.

Perusahaan

Sementara itu, Kepala Cabang PT Royal Samudra Nusantara, Lombok, Ahmad Tantowi, salah satu perusahaan eksportir benur, mengakui ada penundaan pengiriman benur setelah Edhy Prabowo ditangkap.

“Kalau kita lihat dari perkembangan memang sudah keluar surat edaran, untuk ekspornya dulu distop. Untuk hari terakhir, hari kemarin (Jumat), di surat edaran sudah jelas, kalau yang masih menyimpan di housekeeping-nya diharuskan dikirim besoknya,” kata Tantowi.

Tantowi mengakui, selama penerapan Permen KP Nomor 12/2020, dia mengalami kendala terhadap proses perizinan yang panjang.

“Ini terlalu panjang alurnya, dari tingkat desa, kemudian kabupaten, kemudian naik ke atas lagi ke KKP. Pokoknya panjang,” kata Tantowi.

Perusahaan Tantowi bermitra dengan lebih dari 100 nelayan lobster yang difasilitasi alat tangkap.

Tantowi mengakui, kadang jarak harga di petani dengan perusahaan sangat jauh tinggi lantaran adanya dugaan permainan harga oleh para tengkulak.

“Jarak harga itu biasanya karena pengepul, pengepul ini sudah punya nelayan binaan. Di luar dari perusahaan, rata-rata nelayan itu sudah dimodali oleh pengepul, yang kemudian itu dianggap sebagai utang nelayan,” kata Tantowi.

Dia menyebutkan, tidak pernah membeli benih lobster di bawah harga batas yang sudah ditentukan pemerintah.

Dalam sekali pengiriman ke luar negeri, perusahaan Tantowi bisa membawa hingga ratusan ribu benur.

https://regional.kompas.com/read/2020/11/28/09174781/cerita-nelayan-benur-di-lombok-yang-hidupnya-tak-tentu-karena-tengkulak

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke