Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Para Perempuan di Bali Menolak Ditaklukkan Pandemi, Kembali Menenun untuk Hidup

Kompas.com - 06/11/2020, 13:23 WIB
Kontributor Banyuwangi, Imam Rosidin,
David Oliver Purba

Tim Redaksi

"Kita disarankan lebih bijaksana menggunakan uang donasi dan diminta membuat orang lebih kreatif sehingga tidak hanya menunggu bantuan," katanya.

Hingga saat ini sudah ada 28 perempuan yang tergabung dalam kelompok tenun. Dari jumlah itu hampir 40 persen dulunya bekerja di sektor wisata seperti terapis spa, perhotelan, hingga pelayan restoran.

Pelatihan dan produksi kain tenun dimulai awal Mei 2020.

Dalam dua pekan ternyata sudah bisa menghasilkan produk kain tenun yang jika dijual seharga Rp 150.000 sampai Rp 500.000 tergantung motifnya.

"Dalam dua minggu ternyata ada produk jadi. Kain dengan benang sederhana, tetapi warna dan motifnya bagus," katanya.

Motif yang biasa dikerjakan kelompok penenun ini, yakni gegambiran, kekayon, hingga singet.

Untuk pemasaran dijual secara online di dengan pasar warga di Bali.Para pembeli ini biasanya memesan kain tenun Pejeng Kangin untuk keperluan sembahyang atau digunakan ke Pura.

Sementara sisanya dijual melalui jejaring teman hingga ke luar negeri.

Astawa mengatakan, usaha warganya untuk bangkit ini masuk ke telinga pemerintah Kabupaten Gianyar pada Juni 2020.

Sehingga Dewan Kerajinan Nasiolan Daerah (Dekranasda) Gianyar turut membantu pelatihan menenun hingga mengikutkannya dalam pameran-pameran.

Astawa bersyukur tenun yang dulu ditinggalkan ternyata kini bisa menyelamatkan. Ia berharap pandemi segera berakhir dan pariwisata Bali kembali pulih.

Ia juga berjanji akan terus mendorong dan mengembangkan tenun di desanya dan tak ingin kembali ditinggalkan.

Sebab hal ini bisa menjadi daya tarik bagi para turis mancanegara nanti terkait bagaimana cerita hingga filosofi di balik pembuatan tenun.

Harapan lainnya, agar pemerintah lebih bijak dalam mendatangkan wisatawan.

Bali jangan lagi mengejar kuantitas atau jumlah wisatawan yang datang, tetapi harus mendatangkan wisatawan yang benar-benar peduli dan tertarik dengan nilai dan budaya Bali.

"Tradisi yang kental dan masih diterapkan di Bali yang tidak akan ada di negara lain," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com