Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Para Perempuan di Bali Menolak Ditaklukkan Pandemi, Kembali Menenun untuk Hidup

Kompas.com - 06/11/2020, 13:23 WIB
Kontributor Banyuwangi, Imam Rosidin,
David Oliver Purba

Tim Redaksi

GIANYAR, KOMPAS.com - Di sebuah teras rumah tampak lima perempuan sedang asyik bercengkerama sembari menata utasan benang yang merentang di alat tenun.

Jari jemari mereka lincah dan cekatan menenun cagcag sesuai pola yang diwariskan leluhurnya.

Baca juga: Berhenti Jadi Sopir karena Pandemi, Kini Rian Sukses Beternak Cacing dengan Omzet Jutaan Rupiah

Sementara di sudut teras, seorang perempuan lainnya sibuk memintal benang yang akan ditenun.

Teras berukuran 4x5 meter ini merupakan rumah produksi kelompok tenun di Dusun Pesalakan, Desa Pejeng Kangin, Tampaksiring, Gianyar, Bali.

Baca juga: Bermodal Rp 6 Juta, Kini Adil Sukses Buka Usaha Lalapan Beromzet Rp 30 Juta, Ini Rahasianya

Mereka kembali menenun setelah Bali yang perekonomiannya bergantung pada pariwisata terpukul akibat pandemi Covid-19.

Salah satu wanita tersebut bernama Putu Ratnawati (40) yang kembali menenun setelah 25 tahun berhenti.

Sejak sekolah dasar (SD), ia sudah mulai menenun berbekal ajaran orangtuanya.

Tenun, kata dia, saat itu menjadi salah satu sumber pemasukan banyak keluarga di desanya selain di sektor pertanian.

Namun, sekitar tahun 1995, dunia pariwisata mengubah kehidupannya.

Pariwisata Bali yang semakin berkembang membuatnya tergiur untuk terjun di dalamnya.

Ratnawati memutuskan berhenti menenun dan bekerja di sekitar Ubud, Gianyar, karena penghasilan yang lebih menjanjikan.

Selain itu, saat itu dia juga mulai kesulitan memasarkan kain tenun produksinya.

"Karena dulu kan orangtua nenun jadi diajari dan pulang sekolah nenun juga. Kesulitan pertama ya bingung produknya mau dijual ke mana. Karena dulu kita berhenti menenun karena terkendala di pemasaran sehingga orang lari ke Ubud kerja," kata Ratnawati kepada Kompas.com, Kamis (5/11/2020).

Berulang kali pariwisata Bali memang sempat sepi, mulai dari bom Bali hingga erupsi Gunung Agung.

Hasil tenun warga di di Dusun Pesalakan, Desa Pejeng Kangin, Tampaksiring, Gianyar, Bali.Kompas.com/ Imam Rosidin Hasil tenun warga di di Dusun Pesalakan, Desa Pejeng Kangin, Tampaksiring, Gianyar, Bali.

Namun, yang terparah adalah saat pandemi Covid-19 karena hampir tak ada lagi wisatawan asing yang datang ke Bali.

Ratnawati yang biasanya mengajar kelas memasak makanan khas Bali kini tak lagi bekerja.

Ia tak lagi mendapat penghasilan karena peserta kelas memasak adalah wisatawan asing.

Tak ingin terlalu lama menganggur ia memilih kembali menenun daripada hanya menunggu bantuan.

Dari saran temannya asal Kanada, dia lalu mengumpulkan perempuan-perempuan yang ingin kembali menenun.

Dalam dua hari, terkumpul 28 perempuan yang tertarik tertarik belajar menenun. Berbekal uang donasi, kelompok ini membeli alat tenun dan benang.

Hingga akhirnya mereka kembali mulai menenun pada Mei 2020.

Awalnya Ratnawati ragu apakah masih bisa menenun seperti dulu. Namun, dalam sepekan jari jemarinya sudah cekatan bahkan menghasilkan kain dengan motif khas Desa Pejeng Kangin.

Ratnawati mengatakan, meski hasilnya tak sebanyak saat mengajar di kelas memasak, ia tetap bersyukur.

Beberapa teman baiknya membantu menjual tenun hingga Kanada dan Jerman.

Kini dalam sebulan ia bisa meraup omzet lebih dari Rp 1,5 juta dari tenun yang dulu ditinggalkannya.

"Astungkara (syukur) ada orang yang membantu dan ikut menjualkannya hingga Kanada. Dengan ini bisa ada pemasukan untuk bantu suami," kata dia.

Aktivitas menenun di Dusun Pesalakan, Desa Pejeng Kangin, Tampaksiring, Gianyar, Bali.Kompas.com/ Imam Rosidin Aktivitas menenun di Dusun Pesalakan, Desa Pejeng Kangin, Tampaksiring, Gianyar, Bali.

Hal yang sama juga diuangkapkan oleh Ni Wayan Suniasih (34). Suniasih dulunya bekerja di sebuah restoran di kawasan Ubud dan di rumahkan sejak Maret 2020.

Suaminya yang merupakan sekuriti hotel juga dipotong gajinya karena berkurangnya hari kerja.

Sejak Mei, ia mulai ikut belajar menenun agar dapur tetap ngebul.

"Ini baru pertamanya, memang agak sulit lama kelamaan udah ngerti. Sangat membantu dan lumayan, lah," ucapnya.

Kepala Dusun Banjar Dinas Pesalakan Made Astawa (37) mengatakan, tenun sudah ada sejak zaman nenek moyangnya.

Tenun di desanya sempat mencapai masa keemasan sekitar tahun 1980-an. Kemudian mulai surut pada 1995 ketika pariwisata mulai berkembang di Bali.

Saat itu banyak yang memilih pariwisata karena panghasilan, permintaan, bahan baku tenun yang mahal, serta pengerjaan yang rumit.

Namun, karena pandemi Covid-19 membuat banyak warga yang dirumahkan hingga PHK kembali menenun.

Di Dusun Pesalakan ditinggali 875 jiwa dengan 172 kepala keluarga. Dari jumlah tersebut hampir 200 lebih orang bekerja di sektor pariwisata.

Karena pandemi, ada 82 orang yang dirumahkan dan PHK.

Pada awal Covid-19, memang bantuan terus berdatangan. Namun, warga disarankan untuk menggunakan uang bantuan dengan bijak dan kreatif.

Sehingga warga dikumpulkan dan diajak kembali menenun agar perekonomian terus berputar.

"Kita disarankan lebih bijaksana menggunakan uang donasi dan diminta membuat orang lebih kreatif sehingga tidak hanya menunggu bantuan," katanya.

Hingga saat ini sudah ada 28 perempuan yang tergabung dalam kelompok tenun. Dari jumlah itu hampir 40 persen dulunya bekerja di sektor wisata seperti terapis spa, perhotelan, hingga pelayan restoran.

Pelatihan dan produksi kain tenun dimulai awal Mei 2020.

Dalam dua pekan ternyata sudah bisa menghasilkan produk kain tenun yang jika dijual seharga Rp 150.000 sampai Rp 500.000 tergantung motifnya.

"Dalam dua minggu ternyata ada produk jadi. Kain dengan benang sederhana, tetapi warna dan motifnya bagus," katanya.

Motif yang biasa dikerjakan kelompok penenun ini, yakni gegambiran, kekayon, hingga singet.

Untuk pemasaran dijual secara online di dengan pasar warga di Bali.Para pembeli ini biasanya memesan kain tenun Pejeng Kangin untuk keperluan sembahyang atau digunakan ke Pura.

Sementara sisanya dijual melalui jejaring teman hingga ke luar negeri.

Astawa mengatakan, usaha warganya untuk bangkit ini masuk ke telinga pemerintah Kabupaten Gianyar pada Juni 2020.

Sehingga Dewan Kerajinan Nasiolan Daerah (Dekranasda) Gianyar turut membantu pelatihan menenun hingga mengikutkannya dalam pameran-pameran.

Astawa bersyukur tenun yang dulu ditinggalkan ternyata kini bisa menyelamatkan. Ia berharap pandemi segera berakhir dan pariwisata Bali kembali pulih.

Ia juga berjanji akan terus mendorong dan mengembangkan tenun di desanya dan tak ingin kembali ditinggalkan.

Sebab hal ini bisa menjadi daya tarik bagi para turis mancanegara nanti terkait bagaimana cerita hingga filosofi di balik pembuatan tenun.

Harapan lainnya, agar pemerintah lebih bijak dalam mendatangkan wisatawan.

Bali jangan lagi mengejar kuantitas atau jumlah wisatawan yang datang, tetapi harus mendatangkan wisatawan yang benar-benar peduli dan tertarik dengan nilai dan budaya Bali.

"Tradisi yang kental dan masih diterapkan di Bali yang tidak akan ada di negara lain," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com