Arianti, suami dan ibunya pun pulang untuk mengganti pembalut yang penuh dengan cairan dan darah.
Setelahnya, mereka pergi ke Puskesmas Pangesangan sesuai instruksi rumah sakit.
Sama dengan di tempat sebelumnya, petugas menolak memeriksa kondisi kandungannya meskipun Arianti memohon-mohon dengan kesakitan.
Petugas memintanya sabar dan mengikuti prosedur rapid test kemudian mengizinkan mendaftar dulu tanpa ikut antrean.
Dalam kondisi kesakitan, Arianti masih harus menunggu hasil rapid test yang keluar dalam 30 menit.
Karena menahan sakit yang tak terkira, Arianti kembali memohon pada dokter di Puskesmas.
"Saya bilang waktu itu, dokter bisa tidak minta tolong, bisa tidak saya diperiksa, kira-kira sudah bukaan berapa, apakah saya akan segera melahirkan soalnya sakit, saya bilang begitu. Dokternya tanya, tadi sudah keluar air dan darah, dia bilang belum waktunya tanpa memeriksa saya, saya diminta tunggu hasil rapid test dulu," kata Arianti.
Ia pun pulang untuk mengganti pembalut karena tak tahan. Sedangkan ibu Arianti menunggu hasil rapid test di Puskesmas.
Namun, rupanya kondisi itu membuat petugas tidak bisa memberikan surat rujukan agar Arianti ditangani di RSAD Mataram. Sebab, saat itu Arianti pulang.
Baca juga: Simak, Berikut Informasi soal SKB CPNS Kemhan, Wajib Bawa Rapid Test
Namun setibanya di sana, surat keterangan rapid test Covid-19 tak diakui karena tak melampirkan keterangan alat rapid test.
Sehingga terpaksa, Arianti melakukan tes ulang.
Saat itu kandungan Arianti sempat diperiksa. Dokter menyebut detak jantung bayi yang dikandungnya lemah, namun membaik.
Ariani lega karena dirinya akan segera menjalani operasi dan membayangkan segera bertemu dengan buah hatinya.
Saat menanyakan kondisi bayinya usai melahirkan, dokter mengatakan bayi itu sedang ditempatkan dalam inkubator.
Namun kemudian, bayi yang dikandungnya dinyatakan meninggal dunia sejak dalam kandungan.
Baca juga: Survei Indikator: 56,9 Persen Responden Nilai Rapid Test Tak Efektif Deteksi Covid-19