Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Transpuan Menjadi Pejabat Publik di Sikka, Bunda Mayora: Berkatilah Seluruh Kegiatanku

Kompas.com - 04/08/2020, 13:01 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Bunda Mayora Victoria, yang disebut-sebut sebagai pejabat publik dari kalangan transpuan atau waria pertama di Indonesia, menyiapkan sejumlah terobosan kebijakan untuk pemberdayaan kelompok marjinal di desanya.

Meski sejumlah orang masih meragukan kemampuan karena identitasnya sebagai waria dan komunitasnya, mantan biarawan ini berpegang teguh pada rencana untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, terutama dari kelompok perempuan dan marjinal.

Baca juga: Hendrika Mayora, Transpuan yang Aktif di Lingkungan Sampai Diminta Warga Jadi Pejabat Desa

Dalam pemilihan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Habi, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, Mayora mengalahkan sejumlah rivalnya, yang sebagian adalah tokoh masyarakat sekaligus mantan pejabat daerah.

Tugas dan peran BPD mirip seperti DPR: menggali, mengolah dan menyalurkan aspirasi masyarakat, termasuk menetapkan anggaran dan rancangan peraturan bersama dengan kepala desa.

Enam tiga puluh pagi. Suara ayam berkokok saling bersahutan, menandakan fajar segera menyingsing di langit pinggiran Kota Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Membangunkan orang-orang untuk segera beraktivitas, termasuk Mayora.

Baca juga: Mengenal Hendrika Mayora, Transpuan Pertama yang Jadi Pejabat Publik di Indonesia

Setelah membuka mata, lantunan doa samar terdengar di antara suara kipas angin yang masih berputar.

"Bantu saya Tuhan, untuk bisa mengerjakan aktivitasku di hari ini. Berkatilah seluruh kegiatanku Berkatilah setiap orang yang saya jumpai. Berkatilah orang-orang yang saya kasihi," ucap Mayora sambil beranjak dari tempat tidur.

Di belakang rumah terdapat tanah garapan seluas setengah lapangan bulutangkis, yang sudah ditanami pohon sayur-sayuran.

Di sebelahnya, terdapat kamar mandi berdinding seng, yang terpisah dari bangunan utama.

Baca juga: Cerita Pria Tak Sadar Nikahi Waria, Berawal Kenal di Medsos hingga Terungkap di Malam Pertama

"Selamat pagi sayur-sayurku," sapa Mayora seraya mengambil selang dan menyirami pohon-pohon yang baru tumbuh itu. Memanfaatkan tanah kosong ini disebutnya sebagai bagian dari 'ketahanan pangan'.

Setelah itu, Mayora mulai merapikan tumpukan piring kotor untuk dicuci, sambil mengatakan, "Ini bukan rumahku. Ini rumah kita bersama."

Selama dua tahun terakhir, Mayora tinggal di sekretariat Fajar Sikka. Sebuah organisasi transpuan atau waria di Kabupaten Sikka yang ia dirikan setelah pulang dari perantauan.

Sekretariat yang disewa ini berukuran sekitar 40 meter persegi. Dindingnya hanya sebagian dilapisi cat.

Langit rumah tanpa plafon, sehingga bisa terlihat susunan palang kayu dan lembaran asbes ketika menatap ke atas.

Baca juga: Waria Kirim Karangan Bunga Apresiasi Penangkapan Ferdian Paleka

Mayora berdandan bersiap untuk berangkat kerjadok BBC Indonesia Mayora berdandan bersiap untuk berangkat kerja
Di Fajar Sikka, kelompok transpuan biasa berkumpul membicarakan masalah mereka sendiri dan masyarakat. Mereka kemudian bersama-sama mencari solusi, dan mengambil tindakan.

Sebelum berangkat kerja ke Kantor Desa Habi. Mayora bersolek, menyapu wajah dengan bedak, dan lipstik merata di bibir.

Ia kembali mengingat masa kecilnya, saat pertama kali menggunakan lipstik.

Saat itu, ia menggunakan pemerah bibir secara sembunyi-sembunyi dari patahan batang lipstik milik kakak perempuannya.

Baca juga: Ini Alasan YouTuber Ferdian Paleka Bikin Video Prank untuk Waria

"Yang sisa-sisa itu, lipstik batangan, yang sudah patah, cungkil pakai lidi," katanya sambil tertawa geli.

Sudah make up. Sudah wangi. Sudah berpakaian rapi. Mayora menancap gas sepeda motornya ke kantor Desa Habi.

Waktu yang dibutuhkan menempuh kantor desa memakan 10 menit. Tapi selama perjalanan, Mayora beberapa kali mampir ke rumah-rumah warga untuk bertanya kabar, jadinya waktu dihabiskan sekitar 30 menit.

Hari itu, Senin 13 Juli 2020, agenda rapat pengambilan keputusan perubahan anggaran desa untuk bantuan sosial kepada warga terdampak pandemi Covid-19.

Baca juga: Bintang Emon Banjir Pujian Setelah Buat Video Sindiran YouTuber Prank Waria

Disepakati, anggaran desa hampir Rp 100 juta dialokasikan untuk bantuan tunai langsung kepada 105 keluarga.

"Rp 300.000 per keluarga per bulan. Diberikan untuk tiga bulan ke depan," kata Mayora yang sudah bekerja sebagai Wakil Ketua BPD selama dua bulan terakhir.

Selama masa pandemi, dana desa lebih banyak dicurahkan membantu warga yang terdampak: gagal panen, kehilangan pekerjaan, dan kesulitan secara ekonomi.

Hal ini yang membuat Mayora terpaksa menutup sementara buku daftar terobosan kebijakan untuk desanya. Tapi segera, setelah pandemi berlalu, ia berjanji mendorong program usaha perempuan untuk ketahanan pangan.

Sepanjang musim kemarau ini, masyarakat di Sikka yang umumnya bertani banyak mengalami gagal panen. Ketahanan pangan menjadi sorotan Mayora, agar kelompok ibu berdaya di tengah masalah perekonomian.

Baca juga: Prank Paket Sampah ke Waria, Ferdian Paleka Terancam Pasal Penghinaan

Sekretariat Fajar Sikka sekaligus tempat tinggal Mayoradok BBC Indonesia Sekretariat Fajar Sikka sekaligus tempat tinggal Mayora
"Misalnya kita pemanfaatan pekarangan rumah… kenapa kita tidak tanam pisang, pisang itu bisa kuat hidup dan bisa diambil juga pisangnya, untuk konsumsi. Itu untuk pemberdayaan dalam hal pengembangan usaha ketahanan keluarga melalui program Dasa Wisma," kata Mayora.

Dasa Wisma adalah program pemerintah pusat, berisi 10-20 ibu dari keluarga yang bertetangga. Tugasnya, melancarkan program dari kelompok Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) di tingkat kelurahan.

Melalui program ini juga ia merancang agar kelompok waria dilibatkan dalam aktivitas pemberdayaan masyarakat dengan menjadi pelatih.

"Karena teman-teman punya keahlian di bidang tata rias dan kecantikan. Anak-anak yang mau belajar pangkas rambut, di teman-teman waria," katanya.

Baca juga: Fakta Pelajar Kelas 1 SMK Menjadi Waria, Ditangkap Satpol PP Saat Layani Tamu di Jalanan

Terobosan lainnya adalah memberi nama-nama jalan di Desa Habi yang selama ini, seluruh jalan kecilnya disebut dengan nama yang sama: lorong.

"Kita berada di pinggiran kota ini kok belum ada nama-nama jalan. Lorong ini belum ada nama jalan, itu yang kami kerjakan," kata Mayora.

Selain itu, ia juga sedang memikirkan tentang penguatan lembaga adat. Dengan penguatan lembaga adat, maka ketika terjadi masalah-masalah tertentu di masyarakat tak langsung dibawa ke pengadilan, tapi bisa diselesaikan secara adat.

Baca juga: Cerita di Balik Pelajar SMK Jadi Waria, Tertangkap Saat Layani Tamu hingga Mengaku Iseng

Aktivitas Mayora saat mengajar anak-anak di Maumere, NTT.dok BBC Indonesia Aktivitas Mayora saat mengajar anak-anak di Maumere, NTT.
Maria Nona Lore, Kepala Desa Habi mengaku mendukung ide Mayora. Ia berencana untuk mengalokasikan sebesar Rp 100 juta, atau sekitar 12,8% dari total dana desa Rp780 juta untuk program Dasa Wisma.

"Sekarang kan tiap RT sudah terbentuk dan ada kegiatan, dan nanti kita kasih kan. Sesuai kebutuhan mereka," katanya.

Maria juga mengatakan memberikan hak yang sama terhadap waria di desanya terkait dengan program-program desa.

"Artinya kita manusiakan. Toh sama, untuk hidup. Itu masuk hak asasi toh. Jadi apa pun keadaannya kita harus terima, apalagi selama ini tidak berbuat yang aneh-aneh," katanya.

Baca juga: Sekolah Relawan Bagikan Paket Sembako untuk Komunitas Waria

Siapa Bunda Mayora?

Mayora memimpin doa saat acara arisan di sekretariat Fajar Sikka.dok BBC Indonesia Mayora memimpin doa saat acara arisan di sekretariat Fajar Sikka.
Habi adalah salah satu desa di pinggiran Kota Maumere, Kabupaten Sikka, NTT.

Jumlah penduduk Sikka sebanyak 321 ribu jiwa di mana pemeluk agama Islam adalah minoritas atau 7,5%, sedangkan mayoritas adalah pemeluk agama Kristen.

Pada 2019, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Sikka sebesar 64,75 di bawah rata-rata angka nasional yaitu 71,92. Sementara itu, rata-rata lama sekolah penduduknya tak sampai kelas 2 SMP.

Henderikus Kelan yang kini lebih dikenal Hendrika Mayora Victoria lahir di Desa Habi, 34 tahun lalu. Saat berusia 6 bulan, ia sudah dibawa merantau orangtuanya ke Merauke, Papua.

Baca juga: Taman Semenep Menteng, dari Tempat Mangkal Waria Jadi Spot yang Instagramable

Ia mulai merasakan tanda-tanda sebagai seorang perempuan sejak SD.

"Sudah mulai pakaian perempuan misalnya, (pakai) mama punya daster. Nekat bermain film India, kelambu itu kami gunting dan bentuk seperti gaun. Terus dijadikan baju untuk baju pengantin," kata Mayora.

Jati dirinya sebagai perempuan pun makin kuat saat beranjak remaja.

"Mimpi basah bukan bertemu dengan cewek tapi bertemu dengan cowok. Terus dibelai-belai seperti India-India kayak gitu," kata Mayora yang mengaku punya impian menjadi seorang pastor.

Baca juga: Seorang Waria Gadaikan Motor Rental untuk Beli Make Up

Ia kemudian melanjutkan pendidikan Seminari Menengah di Merauke untuk menjadi bruder atau biarawan Katolik.

"Waktu di Seminari, saat mandi, yang lain mandi telajang merasa biasa. Kalau saya mandi tutup handuk, duh tidak mau telanjang di antara laki-laki," kata Mayora sambil tersipu.

Tapi itu, belum cukup meyakinkan dirinya sebagai perempuan.

"Saya menutup rapat benar-benar identitas genderku. Dan bahkan saya malu, saya takut ketika mendengar kalau orang bilang saya waria," katanya.

Baca juga: Simpan Sabu di Pakaian Dalam, Seorang Waria Ditangkap

Komunitas transpuan Fajar Sikka mengibarkan bendera di pantai Koka, NTTdok BBC Indonesia Komunitas transpuan Fajar Sikka mengibarkan bendera di pantai Koka, NTT
Pergumulan sebagai seorang transpuan dengan agama yang dianutnya terus berlanjut.

Pada 2008 ia melanjutkan pendidikan formatio sebagai Bruder di Yogyakarta di Rumah Formatio Bruder CSA.

Tapi 2015, Mayora memutuskan keluar dari biara dan kembali ke Merauke. Ia sempat mengajar dan melakukan pelayanan pada umat di Papua.

"Pas lagi keluar itu saya bergumul berat sekali. Saya tersiksa dengan identitas gender saya, identitas iman saya, identitas seksualitas saya," katanya.

Lalu, pada 2017, Mayora memutuskan kembali lagi ke Yogyakarta, berharap pergumulan identitas gendernya selesai, sehingga bisa menjadi laki-laki seutuhnya.

Baca juga: Kisah Pemimpin Pesantren Bela Hak Waria hingga Raih Penghargaan Pejuang HAM

"Siapa tahu saya menjadi laki-laki yang baik ketika saya di luar Merauke," katanya.

"Tapi sampai di sana (Yogyakarta) juga sama. Saya tidak sembuh. Padahal tiap hari itu pergi ke gereja, sembahyang, doa. Saya tidak sembuh dari pergumulan identitas gender dan orientasi seksual saya juga soal dosa iman Kristiani saya."

Selama pergumulan melawan diri sendiri ini, Mayora mengaku sampai mengalami vertigo, susah tidur, dan punya keinginan untuk mengakhiri hidup.

Akhirnya, Mayora memutuskan untuk menjadi transpuan seutuhnya setelah bertemu dan mendapat inspirasi dari salah satu tokoh waria di Yogyakarta, Rully Malay.

Baca juga: Cerita di Balik Ponpes Waria, Mengenal Tuhan Melawan Stigma hingga Dapat Penghargaan HAM

Mayora bersama teman-teman komunitas transpuan Fajar Sikka mengadakan gladiresik perayaan HUT ke-75 RIdok BBC Indonesia Mayora bersama teman-teman komunitas transpuan Fajar Sikka mengadakan gladiresik perayaan HUT ke-75 RI
Ia pun bergabung dengan komunitas waria di Yogyakarta dan merawat seorang waria tua.

Tapi persoalan ekonomi mendorongnya untuk pergi mengamen, termasuk menjadi pekerja seks transpuan.

"Saya pernah mencari pekerjaan di luar mengamen, tidak bisa. Ya, ampun, ternyata kita waria ini di Yogya susah diterima. Saya lihat lagi banyak ketidakadilan di Yogyakarta, banyak waria yang disakiti di sana."

Pernah saat ketika ia mengamen harus bergelut dengan petugas Satpol PP yang datang hendak menangkap.

Baca juga: Memeras Uang Korban, Waria Gunakan Modus Video Call Seks

"Satu-satunya waria yang berantem fisik dengan Satpol PP itu saya. Saya bilang, kenapa kamu tangkap saya? Tidak tangkap yang tukang korupsi, tidak tangkap yang tukang membunuh. Kami ini waria, ngamen, jual suara, nyanyi," cerita Mayora.

Singkat cerita, pada 2018 Mayora memutuskan kembali ke tanah kelahirannya di Kabupaten Sikka, NTT. Itu pun bukan tanpa penghakiman dari para kerabatnya, yang dulu mengidamkannya menjadi seorang biarawan.

"Ya ampun, dulu berjubah sekarang berdaster dan berdendong (berdandan). Pulang ke rumah semua menghakimi saya. Tapi kan saya tidak nakal, saya tidak buat apa-apa, saya kan cuma dandan. Dandan itu kan sekarang tren," katanya penuh percaya diri.

Baca juga: Motif Pembunuhan Ketua Waria Palembang Terungkap, Pelaku Kesal Dicaci Korban

Mayora dan Fajar Sika membagikan sembako kepada warga terdampak Covid-19 di NTT.dok BBC Indonesia Mayora dan Fajar Sika membagikan sembako kepada warga terdampak Covid-19 di NTT.
Pelan-pelan, Mayora mulai memberikan pengertian tentang waria kepada kerabatnya itu, dan berhasil.

Bukan hanya pada kerabatnya, Ia juga mengajak teman-teman sesama waria di Maumere untuk berkegiatan sosial, mulai dari bimbingan pendidikan pada anak-anak, aktif di kegiatan PKK, sampai menggalang bantuan untuk kelompok minoritas seperti lansia dan disabilitas.

"Ada (ibu) yang cerita, sebelum bertemu dengan Bunda Mayora, kami itu benci sekali dengan waria. Rasanya kami mau makan hidup-hidup, tapi terima kasih Bunda Mayora sudah menjelaskan waria seperti ini," katanya.

Baca juga: Dianggap Meresahkan, Indekos Waria di Cianjur Digerebek Warga

"Saya itu tidak pernah memikirkan untuk jadi laki juga tidak pernah memikirkan untuk jadi waria. Tapi ketika saya dilahirkan kayak begini, mosok saya mau tolak? Justru ketika menolak itu saya merasa berdosa, bersalah. Akhirnya saya menemukan Tuhan pada kewariaanku itu."

Berbekal pengalaman pahit dan pergulatan panjang mencari kesejatian, Mayora kemudian membentuk kelompok doa di komunitas waria dengan nama 'Gembala Baik' yang pada perjalanannya menjadi organisasi Fajar Sikka.

Baca juga: Ketua Waria di Palembang Tewas Dibunuh Kekasih

Lebih didengar saat menjadi pejabat publik

Sejumlah anggota Fajar Sikka melakukan gladi resik pengibaran bendera merah putihdok BBC Indonesia Sejumlah anggota Fajar Sikka melakukan gladi resik pengibaran bendera merah putih
Pada Maret 2020, Mayora menang pemilihan BPD mengalahkan lima rivalnya dari satu dusun.

Salah satunya adalah mantan pejabat daerah di Sikka, Yakobus Regang.

"Jadi waktu kemarin kami kompetisi pemilihan BPD, ada teman yang unggul, saya akui. Sebenarnya, ini kan pilihan oleh rakyat, tetapi bukannya kita kalah lalu harus menghindar," kata Yakobus.

Bentuk dukungan Yakobus saat ini kepada BPD adalah memberikan sumbangsih gagasan terkait pembangunan desa.

Baca juga: Misteri Pembunuhan Ketua Waria Palembang, Dugaan Pelaku Orang Dekat hingga Hilangnya Harta Korban

"Pertemuan-pertemuan untuk membicarakan tentang pembangunan desa dengan BPD, dengan masyarakat, saya selalu hadir," katanya.

Saat pemilihan BPD, dukungan untuk Mayora lebih banyak datang dari kalangan ibu-ibu.

Salah satunya adalah Yosefina Yasinta.

Bagi perempuan berusia setengah abad ini, Mayora layak jadi pemimpin desa karena pandai berkomunikasi dan dekat dengan anak-anak.

"Karena suka cara omongnya. Dia selalu sering dengan anak-anak, sering datang, kasih pelajaran ini lagi," kata Yosefina.

Baca juga: Barang Waria Korban Pembunuhan di Palembang Hilang

Sementara itu, mantan biawaran ini juga masih mendapat tempat bagi tokoh agama setempat.

Pemuka agama Katolik, Romo Patrick Darsamugro mengatakan keberadaan transpuan di tengah masyarakat tak dapat ditolak 'karena menjadi bagian dari Tuhan'.

"Kalau dia dilahirkan dengan keadaan yang baik, kenapa tidak kita menerima dia. Kita menjadikan dia menjadi bagian dari komunitas, hidup bersama di tengah masyarakat," katanya.

Sementara itu, seorang pemuka agama Islam di sana, Ahmadun Usman Thayyib mengakui toleransi di lingkungan masyarakat Sikka sangat tinggi.

Baca juga: Lomba Busana Waria Mendadak Dibubarkan Polisi

Warga di Maumere beribadah Minggu dengan protokol Covid-19. Di Kabupaten Sikka, jumlah pemeluk Kristen lebih banyak dari Islam.dok BBC Indonesia Warga di Maumere beribadah Minggu dengan protokol Covid-19. Di Kabupaten Sikka, jumlah pemeluk Kristen lebih banyak dari Islam.
Misalnya, dalam perayaan keagamaan, para tokoh agama saling mengundang untuk makan bersama dan berbicara tentang toleransi.

Hal ini berlanjut pada penerimaan ragam gender.

"Menurut saya itu, supaya bisa melihat dari sisi Kabupaten Sikka itu kenapa waria bisa diterima di minoritas muslim, itu karena pergaulan mereka."

"Sesama mereka tuh baik. Kepada kita, minoritas muslim ini juga baik bergaul dengan mereka," kata Ahmadun.

Menurut Ahmadun, daerah-daerah lain bisa mencontoh Kabupaten Sikka mengenai penerimaan keberagamaan.

Baca juga: Dituduh Mencuri Ponsel, Seorang Waria Babak Belur Dihajar Pelanggannya

Khusus keberagaman gender, kata dia, kuncinya waria di Sikka mau mendengar nasihat tokoh agama dan masyarakat.

"Karena mereka mau mendengar tokoh-tokoh agamanya apabila berpesan kepada mereka, mereka dengar. Mereka ikuti," kata Ahmadun.

Tapi untuk nasihat mengubahnya menjadi laki-laki, kata Ahmadun, "Jadi kalau Allah sudah tentukan begitu, begitu sudah, tinggal kita nih selalu memberi nasihat terus."

Namun, tak semua warga setuju ketika ada waria menjadi pejabat publik.

Seperti diutarakan Maria Magdalena Sigahitong, warga yang mengatakan waria 'tidak terlalu pantas, karena memiliki stigma yang buruk'.

Baca juga: Kerap Goda Remaja, 12 Waria di Aceh Utara Ditangkap Aparat Keamanan

"Kalau misalnya dengan cara seperti itu (berdandan), pemikiran masyarakat juga, kita untuk di sebuah lembaga itu jadinya agak risih," kata Maria.

Tapi sekali lagi, kata dia, 'semua tergantung pada masyarakat'. "Kalau waria ini terpilih, berarti masyarakat itu mempercayakan di luar dari stigma-stigma buruk yang lekat pada dia. Kalau potensinya bagus kenapa tidak," kata Maria.

Dari segala pro dan kontra tentang waria yang diyakini sebagai pejabat publik pertama di Indonesia, Mayora membuktikan sudah menjadi pilihan masyarakat sebagai representasi.

"Di Maumere, orang memilih saya tidak sebagai waria saja. Tapi orang melihat saya dari perbuatan, pekerjaan. Karya saya. Pekerjaan saya," kata Mayora.

Baca juga: Alasan Hendrika Mayora Maju Jadi Pejabat Desa, Ingin Membantu Kaum Minoritas

Mayora juga berharap seluruh waria di Indonesia dapat masuk ke dalam struktur pemerintahan, untuk berjuang mengikis cap buruk yang selama ini melekat pada transpuan.

"Ketika kita berada di dalam sistem, kita bisa membuat kebijakan-kebijakan yang berpihak pada masyarakat. Bahkan berpihak kepada komunitas, atau berpihak kepada sesama kita," katanya.

Tulisan ini merupakan tulisan pertama dari rangkaian cerita mengenai mereka yang ikut berperan dalam 75 tahun kemerdekaaan Indonesia, meski kadang terlupakan atau terpinggirkan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com