Namun upayanya tak menyurutkan anggota Satgas Covid-19 setempat untuk menjalankan tugasnya.
Andi Esa adalah putri sulung Andi Baso Riady Mappasulle, seorang warga Gowa yang baru saja kehilangan istrinya, Nurhayani Abram pada pertengahan Mei silam.
Oleh pihak rumah sakit, perempuan berusia 48 tahun itu dinyatakan sebagai pasien dalam pengawasan Covid-19, padahal Andi Baso mengklaim istrinya "tidak punya riwayat penyakit sebelumnya" dan "hanya tiba-tiba mengalami stroke".
Baca juga: Datangi RS di Makassar, Sejumlah Orang Coba Ambil Paksa Jenazah Pasien Covid-19
Apalagi, menurut Baso, pihak rumah sakit mengakui bahwa penyebab kematian istrinya bukan karena virus corona, melainkan karena pecah pembuluh darah di kepala.
"Makanya kami pertahankan jenazah almarhumah. Pada saat itu kami bersitegang dengan petugas Tim Gugus Tugas Covid-19, namu karena almarhumah sudah disematkan vonis PDP, mereka memaksakan untuk dikebumikan [menggunakan] protokol Covid-19," ujarnya.
"Keyakinan kami bahwa beliau tidak terjangkit Covid-19 karena sudah dibuktikan dengan hasil swab yang sudah keluar, yang hasilnya negatif," tutur Andi, seraya menambahkan hasil tes itu baru keluar sepekan setelah sang istri dimakamkan.
Dia menyayangkan perlakuan Tim Gugus Tugas Covid-19 terhadap keluarganya. Dia menyebut putri sulungnya "diperlakukan secara tidak manusiawi".
Baca juga: Marak Penjemputan Paksa Pasien Covid-19 yang Diisolasi dalam Hotel di Makassar
Dalam pernyataan tertulisnya, Andi Arnida Esa Putri Abram mengaku ketika hendak menggapai peti jenazah ibunya, petugas "menghadang dan memegang tangan dan menyekap kaki agar tidak bergerak".
"Seluruh badan saya ingin patah rasanya diperlakukan seperti itu," tulisnya.
Atas peristiwa tersebut, keluarga Andi Baso akan mengajukan permohonan kepada pemerintah daerah setempat agar bisa memindahkan jenazah istrinya ke pemakaman keluarga, sebab menurutnya "sudah tidak relevan lagi" jenazah almarhumah dimakamkan di pemakaman khusus Covid-19.
Baca juga: Jenazah PDP Covid-19 Dibawa Paksa Massa, RS Mekar Sari Bilang Mestinya Itu Tak Terjadi
"Kami sangat yakin kami sudah dizalimi oleh tim gugus, kami sudah dizalimi oleh pemerintah karena jenazah almarhumah masih ada di pekuburan Macanda yang khusus Covid, sedangkan almarhumah bukan [pasien] Covid-19".
Jika permohonan itu tak digubris pemerintah, kata Andi Baso, dirinya akan mengajukan gugatan hukum ke rumah sakit dan Gugus Tugas Covid-19 setempat, yang dinilainya ceroboh menetapkan status PDP terhadap istrinya.
Baca juga: Kasus Ambil Paksa Jenazah PDP di Makassar, 10 Orang Ditetapkan Tersangka, Terancam 7 Tahun Penjara
"Bisa dibayangkan, ketika orang dekat Anda meninggal dan tidak ada satupun keluarga yang datang, karena status PDP itu."
"Bisa dibayangkan bagaimana sakitnya sanksi sosial yang kami dapatkan dan anak-anak kami," paparnya.
Maka dari itu, selain pemindahan jenazah istri ke pemakaman keluarga, dia menghendaki status istrinya direhabilitasi.
"Supaya kami terbebas dari stigma yang sudah disematkan kepada almarhumah," tegas Andi.
Baca juga: 5 Fakta Puluhan Orang Paksa Bawa Jenazah PDP Covid-19 di RS Mekar Sari Bekasi
Sementara itu, di Bekasi, Jawa Barat, puluhan orang menggambil paksa jenazah Rosidi, pasien berstatus PDP di Rumah Sakit Mekar Sari pada Senin (8/6/20'20).
Sambil berdzikir, massa yang merupakan kerabat Rosidi itu memaksa membawa jenazahnya keluar dari rumah sakit.
Petugas keamanan dan tenaga medis yang mengenakan alat pelindung diri kalah jumlah, sehingga jenazah Rosidi yang masih berada di tempat tidur rumah sakit bisa keluar dari kompleks rumah sakit.
Baca juga: Keluarga Jenazah PDP yang Dibawa Paksa Massa di RS Mekar Sari Minta Maaf, Kasus Berakhir Damai