Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus Mutia Bunuh Bayinya, Perkawinan Anak dan Gangguan Mental Setelah Melahirkan

Kompas.com - 13/04/2020, 06:26 WIB
Rachmawati

Editor

"Mulfia merupakan korban dari ketidakpedulian kita, ketidakpedulian pemerintah," katanya.

Baca juga: Cerita dan Kronologi Lengkap Ibu Bunuh Balita 2 Tahun Gara-gara Kencing di Kasur

Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Baubau Wa Ode Soraya menyatakan dinasnya sudah memiliki mekanisme untuk menangani kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga.

"Untuk pemulihan korban, DP3A Kota Baubau mempunyai satgas sebanyak enam orang. Mekanismenya [perlu] ada laporan baik korban atau keluarganya. Satgas akan menjangkau," katanya.

Ia menambahkan psikolog juga dilibatkan dalam program pemulihan korban.

Baca juga: Karena Jengkel, Ibu Bunuh Anak Gadisnya di Kediri

Cegah perkawinan anak

Kisah Mulfia menggambarkan kompleksnya permasalahan yang muncul dari ketidaksiapan mental pasangan, terutama perempuan, yang menikah di usia muda.

Undang-undang Perkawinan di Indonesia mengamanatkan 19 tahun sebagai usia minimum bagi perempuan untuk menikah.

Akan tetapi, orang tua dari perempuan tersebut dapat meminta dispensasi menikah melalui Pengadilan Agama. Umumnya, orang tua menggunakan alasan agama - menikah untuk menghindari zina -- sebagai dasar permohonan.

Baca juga: Kronologi Ibu Bunuh 2 Balita Kembar, Sering Dianiaya Suami hingga Ditetapkan sebagai Tersangka

Baik aktivis kesetaraan gender maupun pemerintah sepakat bahwa perkawinan anak perlu dientaskan karena dianggap sebagai praktik yang membahayakan, terutama bagi perempuan.

Sustainable Development Goals (SDGs) mengamanatkan untuk mengeliminasi segala praktik membahayakan, termasuk perkawinan anak, pada 2030.

Menteri Pemberdayaan Anak dan Perempuan Bintang Puspayoga mengatakan berbagai faktor berkontribusi terhadap tingginya angka perkawinan anak di Indonesia.

Baca juga: Selain Syekh Puji, Komnas PA Laporkan 3 Orang Lain dalam Kasus Pernikahan Anak 7 Tahun

Seorang remaja putri membawa peraga kampanye pada Kick Off Gerakan Pencegahan Perkawinan Anak di Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (30/1/2020). Gerakan yang diinisiasi UNICEF bekerja sama dengan Yayasan Karampuang itu untuk menekan angka perkawinan anak di Sulteng yang meningkat pascabencana, terutama di kawasan pengungsian. ANTARA FOTO/Basri Marzuki/aww.ANTARA FOTO/BASRI MARZUKI Seorang remaja putri membawa peraga kampanye pada Kick Off Gerakan Pencegahan Perkawinan Anak di Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (30/1/2020). Gerakan yang diinisiasi UNICEF bekerja sama dengan Yayasan Karampuang itu untuk menekan angka perkawinan anak di Sulteng yang meningkat pascabencana, terutama di kawasan pengungsian. ANTARA FOTO/Basri Marzuki/aww.
Alasan ekonomi dan doktrin agama adalah dua di antaranya.

Rendahnya kesadaran akan konsekuensi negatif perkawinan anak, termasuk risiko kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga, hingga kematian saat melahirkan dan stanting, juga dianggap faktor yang mendorong tingginya angka perkawinan anak di Indonesia.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), 1 dari 9 perempuan usia 20-24 tahun menikah sebelum berusia 18 tahun pada 2018.

Sementara itu, di tahun yang sama, prevalensi perempuan berusia 20-24 yang menikah sebelum 15 tahun adalah 0,56%.

Baca juga: Cegah Perkawinan Anak, Kementerian PPPA Diharap Segera Terbitkan Pedoman Teknis

"Pemerintah menargetkan mengurangi prevalensi [pernikahan anak] dari 11,2% menjadi 8,74% pada akhir 2024," kata Bintang pada peluncuran Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak di Jakarta pada Februari 2020.

Kementeriannya beserta 20 pemerintah provinsi dengan angka perkawinan anak tertinggi di Indonesia telah menandatangi komitmen untuk memutus mata rantai perkawinan anak. Provinsi tersebut termasuk Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Jambi dan Papua.

Baca juga: Bahaya dan Ancaman Buruk di Balik Perkawinan Anak

"Tentu untuk mendapatkan hasil maksimal tidak bisa kami sendiri bergandengan tangan salah satunya pesantren-pesantren [..] ke sekolah-sekolah juga. Ini tindakan preventif yang akan kita lakukan untuk mencegah perkawinan anak. Mungkin [agar] sosialisasi efektif kita gandeng semua lintas baik agama, masyarakat, pemerintah, termasuk media," kata Bintang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com