Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus Mutia Bunuh Bayinya, Perkawinan Anak dan Gangguan Mental Setelah Melahirkan

Kompas.com - 13/04/2020, 06:26 WIB
Rachmawati

Editor

Saat itu bayi Mulfia dibaringkan di atas kakinya yang terjulur. Tapi ia mendadak melebarkan kedua kakinya hingga anaknya terjatuh setelah ia berselisih pendapat dengan orang di sekitarnya.

Beberapa hari kemudian, Mulfia sekeluarga ditempatkan di rumah kosong, setelah seminggu mereka ditampung sementara di rumah kakak Mulfia.

Tindakan itu dilakukan untuk mencoba menenangkan Mulfia. Namun ternyata keputusan itu berakhir celaka.

Baca juga: Ibu Bunuh Bayi di Bandung, Mengapa Orangtua Tega Akhiri Hidup Anaknya?

Gangguan mental setelah melahirkan

Dugaan pembunuhan bayi berusia 4 bulan oleh ibunya, Mulfia, ditangani Polres Baubau, yang kemudian mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan menyusul rekomendasi Rumah Sakit Jiwa Kendari yang menyatakan Mulfia mengalami gangguan kejiwaan.

Psikolog Universitas Muhammadiyah Buton (UMB) Ria Safaria memperkirakan 50%-80% perempuan mengalami depresi setelah melahirkan. Kelelahan dan perubahan hormon menjadi penyebab utamanya.

Ia menjelaskan, seorang ibu baru dikatakan mengalami sindrom baby blues jika menangis terus menerus selama 14 hari tanpa kontrol jelas dan tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai ibu secara alami.

Baca juga: Seorang Ibu Bunuh Bayinya dengan Racun Babi, Kemudian Bunuh Diri

Namun, jika situasi itu terus berlangsung selama lebih dari 14 hari, lanjutnya, maka ia diperkirakan mengalami depresi setelah melahirkan.

"Gejalanya memang hampir sama, hanya frekuensi dan durasinya yang membedakan. Kalau depresi pasca melahirkan itu lebih berat dan terasa sekali. Kalau baby blues syndromme wajar dan ringan," kata Ria.

Ria menyebut lingkungan di sekitar ibu sangat menentukan. Dukungan suami dan orang-orang terdekat sangat penting, yang artinya, tak adanya dukungan juga dapat memperburuk kondisi mental ibu.

Jarak melahirkan yang terlalu dekat juga sangat menguras tenaga dan pikiran si ibu.

Baca juga: Kasus Ibu Bunuh Bayinya dengan Racun Babi lalu Bunuh Diri, Berawal dari Suami Tidur di Rumah Istri Pertama

Ria menyebutkan rendahnya kesadaran akan akibat negatif perkawinan di usia dini mendorong berbagai masalah yang akhirnya ditanggung oleh perempuan.

"Orang banyak menyalahartikan bahwa menikah ya sudah yang penting kamu sudah menikah, berhubungan badan halal punya anak. Ya sudah urus [anak].

"Jadi seorang ibu tidak mudah, dia harus siap dengan kondisinya. Hormon juga memengaruhi. Jadi baby blues itu juga bisa memengaruhi ketika ibunya berusia dini."
Peran pemerintah untuk pemulihan

Baca juga: Seorang Ibu Bunuh Bayinya dengan Racun Babi, Kemudian Bunuh Diri

LSM APPAK (Lembaga Swadaya Masyarakat Aliansi Peduli Perempuan dan Anak) di Pulau Buton menyebut kurangnya perhatian pemerintah terhadap isu kekerasan terhadap anak dan perempuan tercermin dalam anggaran daerah.

Menurut Sri Nurmala dari APPAK, pemerintah setempat tidak menyiapkan anggaran untuk program pemulihan korban kekerasan baik mental dan fisik, meski sudah diamanatkan dalam Undang-undang Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com