Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus Mutia Bunuh Bayinya, Perkawinan Anak dan Gangguan Mental Setelah Melahirkan

Kompas.com - 13/04/2020, 06:26 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Pilihan untuk menikah di usia muda kerap didorong oleh berbagai motivasi, mulai dari doktrin agama sampai alasan ekonomi. Sering kali, perempuan yang menanggung akibatnya.

Mulfia (23) dikenal sebagai gadis periang sebelum ia melahirkan kedua anaknya, setelah menikah pada usia 17 tahun.

Suatu hari pada Februari, warga Buton Tengah di Sulawesi Tenggara digemparkan kabar tentang dugaan Mulfia yang menyebabkan kematian bayinya sendiri yang baru berusia empat bulan dan melukai anak sulung yang berusia satu tahun.

Baca juga: Ibu Ini Dituduh Bunuh Bayinya yang Baru Lahir dengan Dimasukkan ke Mesin Cuci

Sepulang dari melaut pada Selasa (25/2/2020), sang suami, Haris (24), menemukan anak sulung mereka, Alfin, dalam kondisi tersayat di bagian leher, sedangkan si bungsu Askaira, tewas terendam di bak mandi.

"Mulfia hanya tertunduk diam seperti tidak terjadi apa-apa," kata Hardin (37), saudara Mulfia, kepada BBC Indonesia.

Hardin yang pertama kali mendapati situasi tersebut langsung meminta Haris kembali dari laut.

Alfian ditemukan terbaring di atas ranjang dalam kondisi menangis dengan luka sayat di bagian belakang leher. Sementara Askaira di dalam ayunan sarung dalam kondisi tubuh basah tak bernyawa.

Baca juga: Mengenal Baby Blues, Sindrom yang Diduga Picu Ibu Bunuh Bayi Sendiri

Berubah setelah melahirkan

Ilustrasi hamilHoneyriko Ilustrasi hamil
Sebelum menikah di usia 17 pada 2014 lalu, Mulfia dikenal sebagai seorang gadis yang periang dan senang bersosialisasi. Ia mengandung dan melahirkan anak pertama di tahun ke-4 pernikahan dan, selang setahun kemudian, melahirkan anak kedua.

"Setelah kelahiran anak pertama sudah terlihat [perubahannya]. Suka marah, membentak seperti kerasukan. Pada saat itu mendapat pengobatan kampung dan mulai pulih. [Setelah] melahirkan anak kedua kambuh lagi," ungkap Hardin.

Perubahan sikap Mulfia juga ditandai dengan keengganannya memberi makan atau susu untuk anaknya.

Baca juga: Ibu di Klaten Bunuh Bayi karena Suami Jarang Pulang

Sebagian kerabat dan tetangga menyangka perubahan sikap yang Mulfia kerap tunjukkan sebagai akibat "kerasukan" dan memutuskan untuk memanggil dukun setempat untuk memberikan pengobatan tradisional.

Setelah menikah dan melahirkan, sepanjang hari Mulfiah hanya tinggal di rumah bersama kedua anak mereka dan kerap ditemani ibu mertua membantu menjaga anak.

Sementara Haris, suaminya, pergi melaut sejak siang hingga malam hari.

Satu minggu sebelum peristiwa nahas terjadi, kerabat Mulfia datang menemani karena khawatir.

Baca juga: Ibu Bunuh Bayi dan Tidur di Samping Jasad Anaknya, Malu karena Kekasih Tak Tanggung Jawab

Tapi Mulfia melakukan sesuatu yang membuat orang-orang makin khawatir.

Saat itu bayi Mulfia dibaringkan di atas kakinya yang terjulur. Tapi ia mendadak melebarkan kedua kakinya hingga anaknya terjatuh setelah ia berselisih pendapat dengan orang di sekitarnya.

Beberapa hari kemudian, Mulfia sekeluarga ditempatkan di rumah kosong, setelah seminggu mereka ditampung sementara di rumah kakak Mulfia.

Tindakan itu dilakukan untuk mencoba menenangkan Mulfia. Namun ternyata keputusan itu berakhir celaka.

Baca juga: Ibu Bunuh Bayi di Bandung, Mengapa Orangtua Tega Akhiri Hidup Anaknya?

Gangguan mental setelah melahirkan

Ilustrasi depresi pasca melahirkanShutterstock.com Ilustrasi depresi pasca melahirkan
Dugaan pembunuhan bayi berusia 4 bulan oleh ibunya, Mulfia, ditangani Polres Baubau, yang kemudian mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan menyusul rekomendasi Rumah Sakit Jiwa Kendari yang menyatakan Mulfia mengalami gangguan kejiwaan.

Psikolog Universitas Muhammadiyah Buton (UMB) Ria Safaria memperkirakan 50%-80% perempuan mengalami depresi setelah melahirkan. Kelelahan dan perubahan hormon menjadi penyebab utamanya.

Ia menjelaskan, seorang ibu baru dikatakan mengalami sindrom baby blues jika menangis terus menerus selama 14 hari tanpa kontrol jelas dan tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai ibu secara alami.

Baca juga: Seorang Ibu Bunuh Bayinya dengan Racun Babi, Kemudian Bunuh Diri

Namun, jika situasi itu terus berlangsung selama lebih dari 14 hari, lanjutnya, maka ia diperkirakan mengalami depresi setelah melahirkan.

"Gejalanya memang hampir sama, hanya frekuensi dan durasinya yang membedakan. Kalau depresi pasca melahirkan itu lebih berat dan terasa sekali. Kalau baby blues syndromme wajar dan ringan," kata Ria.

Ria menyebut lingkungan di sekitar ibu sangat menentukan. Dukungan suami dan orang-orang terdekat sangat penting, yang artinya, tak adanya dukungan juga dapat memperburuk kondisi mental ibu.

Jarak melahirkan yang terlalu dekat juga sangat menguras tenaga dan pikiran si ibu.

Baca juga: Kasus Ibu Bunuh Bayinya dengan Racun Babi lalu Bunuh Diri, Berawal dari Suami Tidur di Rumah Istri Pertama

Ria menyebutkan rendahnya kesadaran akan akibat negatif perkawinan di usia dini mendorong berbagai masalah yang akhirnya ditanggung oleh perempuan.

"Orang banyak menyalahartikan bahwa menikah ya sudah yang penting kamu sudah menikah, berhubungan badan halal punya anak. Ya sudah urus [anak].

"Jadi seorang ibu tidak mudah, dia harus siap dengan kondisinya. Hormon juga memengaruhi. Jadi baby blues itu juga bisa memengaruhi ketika ibunya berusia dini."
Peran pemerintah untuk pemulihan

Baca juga: Seorang Ibu Bunuh Bayinya dengan Racun Babi, Kemudian Bunuh Diri

LSM APPAK (Lembaga Swadaya Masyarakat Aliansi Peduli Perempuan dan Anak) di Pulau Buton menyebut kurangnya perhatian pemerintah terhadap isu kekerasan terhadap anak dan perempuan tercermin dalam anggaran daerah.

Menurut Sri Nurmala dari APPAK, pemerintah setempat tidak menyiapkan anggaran untuk program pemulihan korban kekerasan baik mental dan fisik, meski sudah diamanatkan dalam Undang-undang Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA).

"Mulfia merupakan korban dari ketidakpedulian kita, ketidakpedulian pemerintah," katanya.

Baca juga: Cerita dan Kronologi Lengkap Ibu Bunuh Balita 2 Tahun Gara-gara Kencing di Kasur

Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Baubau Wa Ode Soraya menyatakan dinasnya sudah memiliki mekanisme untuk menangani kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga.

"Untuk pemulihan korban, DP3A Kota Baubau mempunyai satgas sebanyak enam orang. Mekanismenya [perlu] ada laporan baik korban atau keluarganya. Satgas akan menjangkau," katanya.

Ia menambahkan psikolog juga dilibatkan dalam program pemulihan korban.

Baca juga: Karena Jengkel, Ibu Bunuh Anak Gadisnya di Kediri

Cegah perkawinan anak

Peserta membawa poster saat aksi peringatan Hari Perempuan Internasional di Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (8/3/2020). Aksi tersebut untuk mensosialisasikan pencegahan perkawinan anak guna menekan angka perkawinan usia dini yang masih marak terjadi.ANTARA FOTO/ARNAS PADDA Peserta membawa poster saat aksi peringatan Hari Perempuan Internasional di Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (8/3/2020). Aksi tersebut untuk mensosialisasikan pencegahan perkawinan anak guna menekan angka perkawinan usia dini yang masih marak terjadi.
Kisah Mulfia menggambarkan kompleksnya permasalahan yang muncul dari ketidaksiapan mental pasangan, terutama perempuan, yang menikah di usia muda.

Undang-undang Perkawinan di Indonesia mengamanatkan 19 tahun sebagai usia minimum bagi perempuan untuk menikah.

Akan tetapi, orang tua dari perempuan tersebut dapat meminta dispensasi menikah melalui Pengadilan Agama. Umumnya, orang tua menggunakan alasan agama - menikah untuk menghindari zina -- sebagai dasar permohonan.

Baca juga: Kronologi Ibu Bunuh 2 Balita Kembar, Sering Dianiaya Suami hingga Ditetapkan sebagai Tersangka

Baik aktivis kesetaraan gender maupun pemerintah sepakat bahwa perkawinan anak perlu dientaskan karena dianggap sebagai praktik yang membahayakan, terutama bagi perempuan.

Sustainable Development Goals (SDGs) mengamanatkan untuk mengeliminasi segala praktik membahayakan, termasuk perkawinan anak, pada 2030.

Menteri Pemberdayaan Anak dan Perempuan Bintang Puspayoga mengatakan berbagai faktor berkontribusi terhadap tingginya angka perkawinan anak di Indonesia.

Baca juga: Selain Syekh Puji, Komnas PA Laporkan 3 Orang Lain dalam Kasus Pernikahan Anak 7 Tahun

Seorang remaja putri membawa peraga kampanye pada Kick Off Gerakan Pencegahan Perkawinan Anak di Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (30/1/2020). Gerakan yang diinisiasi UNICEF bekerja sama dengan Yayasan Karampuang itu untuk menekan angka perkawinan anak di Sulteng yang meningkat pascabencana, terutama di kawasan pengungsian. ANTARA FOTO/Basri Marzuki/aww.ANTARA FOTO/BASRI MARZUKI Seorang remaja putri membawa peraga kampanye pada Kick Off Gerakan Pencegahan Perkawinan Anak di Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (30/1/2020). Gerakan yang diinisiasi UNICEF bekerja sama dengan Yayasan Karampuang itu untuk menekan angka perkawinan anak di Sulteng yang meningkat pascabencana, terutama di kawasan pengungsian. ANTARA FOTO/Basri Marzuki/aww.
Alasan ekonomi dan doktrin agama adalah dua di antaranya.

Rendahnya kesadaran akan konsekuensi negatif perkawinan anak, termasuk risiko kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga, hingga kematian saat melahirkan dan stanting, juga dianggap faktor yang mendorong tingginya angka perkawinan anak di Indonesia.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), 1 dari 9 perempuan usia 20-24 tahun menikah sebelum berusia 18 tahun pada 2018.

Sementara itu, di tahun yang sama, prevalensi perempuan berusia 20-24 yang menikah sebelum 15 tahun adalah 0,56%.

Baca juga: Cegah Perkawinan Anak, Kementerian PPPA Diharap Segera Terbitkan Pedoman Teknis

"Pemerintah menargetkan mengurangi prevalensi [pernikahan anak] dari 11,2% menjadi 8,74% pada akhir 2024," kata Bintang pada peluncuran Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak di Jakarta pada Februari 2020.

Kementeriannya beserta 20 pemerintah provinsi dengan angka perkawinan anak tertinggi di Indonesia telah menandatangi komitmen untuk memutus mata rantai perkawinan anak. Provinsi tersebut termasuk Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Jambi dan Papua.

Baca juga: Bahaya dan Ancaman Buruk di Balik Perkawinan Anak

"Tentu untuk mendapatkan hasil maksimal tidak bisa kami sendiri bergandengan tangan salah satunya pesantren-pesantren [..] ke sekolah-sekolah juga. Ini tindakan preventif yang akan kita lakukan untuk mencegah perkawinan anak. Mungkin [agar] sosialisasi efektif kita gandeng semua lintas baik agama, masyarakat, pemerintah, termasuk media," kata Bintang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com