Namun, seketika bom meledak.
“Pada saat itu, posisi saya sekitar 6 sampai 7 meter dari pelaku. Saat itu saya terkena ledakan. Saya masih sempat jalan, lari bahkan untuk mencari pertolongan,” kata Desmonda.
Desmonda mengatakan, saat itu kondisi gereja sedang ramai, karena sedang pergantian jadwal misa.
Jemaah ada yang datang dan ada yang hendak pulang.
Baca juga: Kisah Joko, Punya Omzet Setengah Miliar Rupiah Per Bulan dari Cacing
Bahkan, saat bom meledak, sebuah mobil sedang menurunkan jemaah tepat di depan pintu gerbang gereja.
Akibat ledakan itu, Desmonda harus menjalani operasi.
Begitu juga dengan korban-korban yang lain. Beruntung, tidak ada cacat fisik yang dialami Desmonda.
Desmonda merasa sangat marah atas kejadian itu. Dia selalu bertanya-tanya kenapa gerejanya yang menjadi sasaran bom.
Namun, Desmonda mengaku sudah memaafkan pelaku, karena menganggapnya sebagai korban dari paham ekstremisme.
“Sampai sekarang pun pertanyaan itu masih membingungkan, karena tidak ada jawaban yang masuk akal. Tapi saya menjawabnya dengan pemikiran yang positif, agar saya bisa memaafkan pelaku, agar mereka tenang di sana,” kata Demonda.
Dorong pemenuhan hak korban
Aliansi Indonesia Damai (AIDA), lembaga yang peduli pada pendampingan korban kasus terorisme mendorong supaya hak-hak korban terpenuhi.
Terutama korban kasus terorisme yang terjadi sebelum 2014.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebenarnya juga mengatur hak-hak korban berupa kompensasi dan restitusi.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.