Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Telanjur Dipakai Uruk, Warga Kaget Tanah Itu Ternyata Limbah Timah

Kompas.com - 12/12/2019, 10:01 WIB
M Agus Fauzul Hakim,
Khairina

Tim Redaksi


KEDIRI, KOMPAS.com - Beberapa warga di wilayah Kelurahan Blabak, Kecamatan Pesantren, Kota Kediri, Jawa Timur, sempat berbahagia karena mendapatkan tanah uruk gratis.

Belakangan, mereka menyesalinya.

Sebab, material berbentuk butiran-butiran kecil seperti pasir dengan warna mirip semen itu ternyata limbah.

Padahal, mereka telanjur menggunakannya untuk menutup lubang-lubang bekas galian di tanah mereka.

Warga baru menyadarinya setelah musim hujan tiba, yaitu saat air hujan membasahi material itu.

Baca juga: Bupati: Tak Ada Industri di Karanganyar Buang Limbah ke Sungai Bengawan Solo

Percampuran air itu menyebabkan munculnya asap pekat diikuti dengan bau menyengat tajam hingga mengganggu pernapasan dan penglihatan. 

Kontan saja hal itu mendatangkan masalah tersendiri bagi lingkungan. Sebab, warga lainnya menjadi terganggu dengan kondisi itu.

Penggunaan material itu tersebar di beberapa titik, yakni di Lingkungan Pagut dan Lingkungan Bulurejo, Kelurahan Blabak.

Daeng Tri Wahyudi (59), warga Bulurejo, ini memesan material itu sebanyak 50 truk, tetapi baru datang 30 truk.

Untuk jumlah sebanyak itu, dia hanya mengeluarkan uang sebesar Rp 1 juta, atau hanya Rp 25.000 tiap truknya.

Material itu datang mulai September lalu dan semuanya dalam kemasan kantong zak. Itu lalu digunakannya untuk menutup bekas galian tanah sedalam 2 meter di pekarangannya.

"Saya tahunya tanah uruk saja," kata Daeng tentang material itu saat ditemui, Rabu (11/12/2019).

Baca juga: 10 Penyu Mati Misterius, PT Tenaga Listrik Bengkulu: Air Limbah PLTU Tak Mematikan

Nur Salim, warga Lingkungan Pagut, juga menggunakan material itu. Dia memanfaatkannya untuk menutup galian yang ada di belakang rumah orang tua dan saudaranya.

Hanya saja, uang yang dikeluarkan berbeda jumlahnya dengan Daeng.

Kata Salim, keluarganya mengeluarkan uang Rp 50.000 untuk tiap truk material itu.

Slamet Santoso (52) malah mendapatkannya secara cuma-cuma. Warga Pagut ini menggunakan material sebanyak 30 truk untuk menutup tanah sedalam 3 meter.

"Tanahnya akan saya buat sekolah SLB," ujar Santoso.

Asal-usul limbah

Slamet Santoso mengaku sudah mengetahui material itu adalah limbah atau abu dari bekas pemrosesan timah.

Dia mendapatkan material itu dari seseorang yang bernama Sholikin dan sopir truk yang bernama Hepi.

Sepengetahuan dia, abu material itu didatangkan dari wilayah Sumobito, Kabupaten Jombang. Hanya saja, dia tidak mengetahui pasti bahwa Jombang itu pabriknya atau hanya tempat penampungan.

Begitu juga dengan dampak penggunaan material itu, dia mengakui menyebabkan terjadinya gangguan pernapasan.

Mantan kepala dusun ini berdalih, material di tempatnya tidak sampai mengganggu masyarakat karena dia sudah langsung menutupnya dengan tanah.

Penutupan dengan tanah itu juga, kata Slamet Santoso, bagian dari perjanjian atau persyaratan yang diminta oleh penyuplai material.

"Ketentuannya harus langsung ditutup tanah," kata Slamet.

Masalah bergulir

Penemuan banyaknya limbah yang dibuang di wilayah itu saat ini sedang dalam penanganan polisi maupun pemerintah kota.

Hanya saja, hingga saat ini belum diketahui pasti jenis limbah tersebut karena sampelnya masih dalam pengujian.

"Sudah ambil sampel," kata Wali Kota Kediri Abdullah Abu Bakar saat mengunjungi lokasi pembuangan limbah, Rabu.

Lokasi-lokasi lahan yang terdapat limbahnya itu saat ini sudah diamankan dengan dipasangi garis polisi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com