Dan seperti kala itu, sejak Senin lalu, Zakarya juga memutuskan membawa seluruh anggota keluarganya yang berjumlah delapan orang untuk mengevakuasi diri dan mencari tempat perlindungan sementara.
"Sebenarnya saya pribadi merasa mengungsi ke luar (kota) itu lebih aman," tuturnya.
Baca juga: Masyarakat Dilarang Membawa Senjata Tajam di Kota Wamena
Akan tetapi, karena yang diprioritaskan untuk mengungsi ke luar Wamena adalah perempuan dan anak-anak, Zakaryas terpaksa tinggal di kota tersebut. Hal itu membuat keluarganya juga batal mengevakuasi diri ke Jayapura.
"Anak-anak saya bilang 'Nggak boleh, kalau Bapak nggak keluar, kami juga nggak keluar."
Zakaryas adalah satu di antara sekitar 5.500 warga pendatang di Wamena yang keluar dari rumah mereka untuk tinggal di pengungsian. Mereka tersebar di markas Komando Distrik Militer 1702 Jayawijaya, markas Polres Jayawijaya, markas Komando Rayon Militer 1702-03 Wamena, Betlehem, gedung DPRD Jayawijaya, hingga markas Yonif Wi Mane Sili.
Tak banyak yang bisa ia lakukan. Zakaryas pun belum tahu kapan akan kembali ke rumahnya yang rusak dilempari batu oleh massa kerusuhan.
Baca juga: Pasca-kerusuhan, Layanan Perbankan di Wamena Mulai Beroperasi
Sejak Rabu (25/92019), ia lantas memberanikan diri untuk berkeliling ke daerah di sekitar rumahnya yang menjadi lokasi kerusuhan untuk memeriksa situasi.
"Kulihat banyak rumah yang terbakar, masih mencekam. Tidak ada orang lewat-lewat, satu-dua-tiga orang, sementara ada beberapa orang di luar berjaga-jaga di depan rumah masing-masing dengan bawa alat-alat tajam," kisahnya.
Zakaryas pun mengutarakan pendapatnya, bahwa pada dasarnya tidak ada warga pendatang yang mencoba membuat masalah.
"Pendatang di sini itu tidak mau menyerang, kita cuma menyelamatkan diri untuk bertahan saja, tidak ada niat kita mau bikin apa," pungkasnya.
Baca juga: Tenaga Medis Ketakutan akibat Kerusuhan di Wamena, Dinkes Papua Kirim Personel
Sementara itu, seperti Zakaryas, Ronny Hisage - yang merupakan warga Papua - mengaku masih khawatir untuk beraktivitas di luar rumah. Pasalnya, sejumlah warga pendatang masih tampak berjaga di luar sambil membawa parang dan senjata tajam lainnya.
"Kemarin sempat saya mau beli sesuatu, cari kios, saya cari kios yang agak sedikit orang (pendatang)," tutur Ronny melaui sambungan telepon (26/09).
"Karena pas lagi banyak-banyak orang pada pegang alat tajam, pas kita lewat itu mereka macam lihat-lihat, tatap ke kami, terus diam. Makanya agak takut."
Baca juga: 32 Korban Tewas Kerusuhan Wamena Rata-rata Terbakar bersama Rumahnya
Dari pengamatannya, ia masih merasakan ketegangan hubungan antara warga Papua dan pendatang pascaricuh Senin lalu. "Kecurigaan itu sepertinya ada," ujarnya.
Hal paling kentara yang ia rasakan adalah suasana kerja di kantornya saat ini di Wamena. Ia merasakan adanya dikotomi berdasar ras.