Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Joseph Osdar
Kolumnis

Mantan wartawan harian Kompas. Kolumnis 

Kisah Marta, “Ciblek Lawang Sewu” (BAGIAN I)

Kompas.com - 05/09/2019, 08:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sampai kini kunjungan wisata asing ke Indonesia masih di bawah Thailand, Malaysia, dan Singapura.

Lawang Sewu dibangun antara tahun 1904 sampai 1907 yang kemudian dilanjutkan lagi sampai 1919. Dibangun oleh perusahaan kereta api (swasta) pertama di bumi Indonesia (Jawa) untuk dijadikan kantor pusatnya.

Pembangunan gedung ini terjadi setelah perusahaan kereta api swasta Belanda, Nederlandsche Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) berhasil membangun sistem transportasi kereta api antara Semarang - Surakarta - Yogyakarta (Jawa Tengah dan Yogyakarta) dari tahun 1864 - 1873 .

Ini peristiwa 146 tahun lalu, ketika Nusantara di bawah pemerintahan Kerajaan Belanda. Ketika membangun jaringan transportasi kereta api yang pertama di Jawa itu, NISM, di bawah direktur utamanya, W. Poolman.

Poolman mengerahkan ribuan orang Tionghoa yang didatangkan dari Kalimantan Barat. Mereka dipekerjakan sebagai kuli kontrak untuk membangun rel, stasiun, dan membabat hutan antara Semarang dengan beberapa desa di Kabupaten Demak, Grobogan, Karanganyar dan Boyolali.

Desa-desa itu antara lain Desa Tanggung, Kedungjati, Gundih, Salem, dan di wilayah Solo dan Yogyakarta.

Lawang Sewu menjadi objek wisata yang kini banyak menarik perhatian turis dalam negeri berkat penanganan PT KAI bekerjasama dengan Pemerintah Jawa Tengah dan kota Semarang serta pihak-pihak terkait.

Koordinasi pengelolaan Lawang Sewu antara pihak-pihak terkait cukup bagus, walau masih jauh dari memuaskan. Tidak mudah, seperti tidak mudahnya puluhaan perusahaan kereta api swasta Belanda berkoordinasi di masa pemerintahan Kerajaan Belanda di Indonesia 150 tahun lalu.

Kesemrawutan di masa penjajahan Belanda itu juga bagian dari pewarisan budaya untuk masa kini. Seperti apa kesemrawutan itu? Bagaimana kita bisa belajar dari pengalaman di masa lalu?  (BERSAMBUNG)

Nantikan bagian kedua tulisan ini, Kisah Marta, “Ciblek Lawang Sewu”, besok Jumat (6/9/2019) pukul 08.05.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com