Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita di Balik Ponpes Waria, Mengenal Tuhan Melawan Stigma hingga Dapat Penghargaan HAM

Kompas.com - 26/07/2019, 18:40 WIB
Michael Hangga Wismabrata

Editor

"Karena kita bisa memperjuangkan hak kami sebagai manusia yang memiliki hak yang sama, dan kita mencari penguatan di pemerintah lokal dan nasional itu ke Komnas HAM, Komnas Perempuan dan jaringan Gusdurian," katanya.

"Dan akhirnya membuka kembali, itulah akhirnya yang mereka lihat. Kita tidak boleh tinggal diam dan menyerah ketika hak asasi kita terlanggar, baik oleh siapapun dengan alasan apapun," tambahnya.

Baca juga: Kisah Sukses Dua Siswi Cantik asal Kudus, Bawa Kain Troso Melenggang ke Paris (1)

3. Mengenal Tuhan dan melawan stigma

Ponpes Al fatah dibimbing oleh tiga ustaz dan satu ustazah. Setiap belajar agama, para waria dibagi menjadi tiga kelas.

Shinta menjelaskan, pihaknya telah membuat sejumlah kegiatan bermanfaat yang bisa diikuti oleh para waria, antara lain pada pukul 15.00 WIB sampai 16.00 WIB akan digelar pengenalan koperasi dan arisan.

"Kami menjadi waria bukan pilihan kami. Kami punya hak untuk beribadah, kami punya hak untuk berkumpul dan beribadah," ucapnya.

Shinta pun tidak membatasi para waria yang ingin belajar. Semua waria dari berbagai profesi dan pekerjaan, akan diterimanya.

"(pekerja seks) kita terima saja. Kita tidak menggurui dengan kata yang muluk-muluk (misalnya) itu salah berdosa, biarkan itu berproses. Merasakan atmosfer religius di sini, berjalan dengan waktu akan adanya hidayah akan punya pemikiran sendiri untuk beralih profesi. Pengalaman kita dulu anggotanya delapan pekerja seks sekarang menjadi empat," katanya.

Baca juga: Kisah Pemuda Desa di Jombang, Sulap Pos Kamling Menjadi Taman Baca

4. Belajar memandikan jenazah waria

IlustrasiSHUTTERSTOCK Ilustrasi

Tak hanya agama, namun pondok pesantren milik Shinta Ratri juga memberikan sejumlah keahlian bagi par santriya, salah satunya cara memandikan jenazah waria.

"Dulu kita belum belajar membungkus mayat, bagaimana mendoakan. Kasus yang dulu kita bawa ke rumah sakit. Begitu sampai di sini tinggal menguburkan," katanya.

Shinta mengaku, stigma negatif bagi kaum waia masih kuat di tengah masyarakat.

"Kami menjadi waria bukan pilihan kami. Kami punya hak untuk beribadah, kami punya hak untuk berkumpul dan beribadah," ucapnya.

Baca juga: Cerita Desa Jimbar Wonogiri, Larang Warganya Bermain HP dan Nyalakan Televisi

5. Harapan untuk bisa diterima masyarakat

Ilustrasi masyarakatFREEPIK/peoplecreations Ilustrasi masyarakat

Menurut Shinta, setiap tahun waria yang diterima kembali oleh keluarganya terus bertambah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com