Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita di Balik Ponpes Waria, Mengenal Tuhan Melawan Stigma hingga Dapat Penghargaan HAM

Kompas.com - 26/07/2019, 18:40 WIB
Michael Hangga Wismabrata

Editor

KOMPAS.com - Shinta Ratri, pengasuh Pondok Pesantren Al Fatah di Banguntapan, Bantul, mengaku ingin membantu para waria belajar agama.

Baginya, sesulit apapun hidup menjadi waria di tengah stigma negatif di masyarakat, tetaplah harus dijalani.

Untuk itu, pendampingan rohani secara rutin sangat diperlukan bagi kaum waria.

Meskipun menjadi waria, menurut Shinta, mereka masih juga manusia yang memiliki hak untuk beribadah.

Saat ini, Pesantren waria Al Fatah saat ini memiliki 42 anggota. Namun, yang aktif datang pada hari Minggu untuk belajar agama ada 30 sampai 35 orang. Waria yang tinggal di pesantren itu ada enam orang.

Berikut ini fakta di balik perjuangan Shinta Ratri:

1. Peraih Front Line Defenders dari Irlandia

ilustrasi wariafreepik.com ilustrasi waria

Saat ditemui Kompas.com pada hari Kamis (25/7/2019), Shinta menceritakan, dirinya mendapatkan penghargaan dari Front Line Defenders, sebuah organisasi internasional untuk perlindungan pembela Hak Asasi Manusia (HAM) yang berbasis di Irlandia.

Shinta pun menunjukkan beberapa plakat berbentuk persegi panjang dari perwakilan Front Line Defenders mendatanginya di pesantren pada 19 Juli 2019.

"Ini saya mewakili region Asia Pasifik. Setiap tahun Pemerintah Irlandia itu mengeluarkan penghargaan untuk orang di seluruh dunia, mereka akan memilih dari lima benua," katanya.

Shinta jelaskan, awal Oktober, dirinya juga akan diundang ke Dublin, Irlandia. Shinta diundang bersama perwakilan tokoh pejuang HAM yang mendapatkan penghargaan yang sama.

Baca juga: Kisah Pemimpin Pesantren Bela Hak Waria hingga Raih Penghargaan Pejuang HAM

2. Asal muasal Ponpes Al Fatah khusus waria

IlustrasiChristianChan Ilustrasi

Perjuangan Shinta mendirikan ponpes khusus waria itu tidaklah mudah. Awalnya, ponpes waria miliknya berdiri di Notoyudan, Kota Yogyakarta. Saat itu dirinya mengontrak sebuah rumah dan dijadikan tempat belajar agama.

Tak berselanga lama, pesantren itu pindah di kawasan Kotagede pada 2014. Lalu pada 2016, pendirian ponpes sempat menjadi pro dan kontra di masyarakat.

Bahkan sempat vakum empat bulan untuk menghilangkan trauma. Sampaii akhirnya kembali berkegiatan.

"Karena kita bisa memperjuangkan hak kami sebagai manusia yang memiliki hak yang sama, dan kita mencari penguatan di pemerintah lokal dan nasional itu ke Komnas HAM, Komnas Perempuan dan jaringan Gusdurian," katanya.

"Dan akhirnya membuka kembali, itulah akhirnya yang mereka lihat. Kita tidak boleh tinggal diam dan menyerah ketika hak asasi kita terlanggar, baik oleh siapapun dengan alasan apapun," tambahnya.

Baca juga: Kisah Sukses Dua Siswi Cantik asal Kudus, Bawa Kain Troso Melenggang ke Paris (1)

3. Mengenal Tuhan dan melawan stigma

IlustrasiThinkstock/Duncan_Andison Ilustrasi

Ponpes Al fatah dibimbing oleh tiga ustaz dan satu ustazah. Setiap belajar agama, para waria dibagi menjadi tiga kelas.

Shinta menjelaskan, pihaknya telah membuat sejumlah kegiatan bermanfaat yang bisa diikuti oleh para waria, antara lain pada pukul 15.00 WIB sampai 16.00 WIB akan digelar pengenalan koperasi dan arisan.

"Kami menjadi waria bukan pilihan kami. Kami punya hak untuk beribadah, kami punya hak untuk berkumpul dan beribadah," ucapnya.

Shinta pun tidak membatasi para waria yang ingin belajar. Semua waria dari berbagai profesi dan pekerjaan, akan diterimanya.

"(pekerja seks) kita terima saja. Kita tidak menggurui dengan kata yang muluk-muluk (misalnya) itu salah berdosa, biarkan itu berproses. Merasakan atmosfer religius di sini, berjalan dengan waktu akan adanya hidayah akan punya pemikiran sendiri untuk beralih profesi. Pengalaman kita dulu anggotanya delapan pekerja seks sekarang menjadi empat," katanya.

Baca juga: Kisah Pemuda Desa di Jombang, Sulap Pos Kamling Menjadi Taman Baca

4. Belajar memandikan jenazah waria

IlustrasiSHUTTERSTOCK Ilustrasi

Tak hanya agama, namun pondok pesantren milik Shinta Ratri juga memberikan sejumlah keahlian bagi par santriya, salah satunya cara memandikan jenazah waria.

"Dulu kita belum belajar membungkus mayat, bagaimana mendoakan. Kasus yang dulu kita bawa ke rumah sakit. Begitu sampai di sini tinggal menguburkan," katanya.

Shinta mengaku, stigma negatif bagi kaum waia masih kuat di tengah masyarakat.

"Kami menjadi waria bukan pilihan kami. Kami punya hak untuk beribadah, kami punya hak untuk berkumpul dan beribadah," ucapnya.

Baca juga: Cerita Desa Jimbar Wonogiri, Larang Warganya Bermain HP dan Nyalakan Televisi

5. Harapan untuk bisa diterima masyarakat

Ilustrasi masyarakatFREEPIK/peoplecreations Ilustrasi masyarakat

Menurut Shinta, setiap tahun waria yang diterima kembali oleh keluarganya terus bertambah.

Awalnya 10 orang, kini menjadi 15 orang. Paling tidak hubungan baik antara waria dan keluarganya yang pernah putus dapat dijalin kembali.

"Itulah advokasi yang dilakukan," katanya.

Sampai saat ini Shinta masih memikirkan program terkait waria lansia. Sebab, masih ada waria yang terkatung-katung.

Pihaknya berharap ke depan bisa ikut membantu memberikan pelayanan rumah singgah, kesehatan, hingga spiritual. Shinta juga berharap komunitas waria bisa diterima masyarakat.

Sebab, selama ini mereka sulit untuk mengekspresikan diri, bekerja, mencari tempat tinggal, hingga berbuat baik pun dicurigai karena stigma negatif masyarakat.

Menjadi waria menurut dia sebuah takdir yang tidak bisa dihindari, karena dilahirkan tidak bisa memilih.

Baca juga: Nunggak 2 Hari ke Fintech, Perempuan Ini Diiklankan "Siap Digilir" untuk Bayar Utang

Sumber: KOMPAS.com (Markus Yuwono)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com