Penahanan terhadap lima tersangka TPPO dilajukan sejak April 2019 lalu. Semenjak itu, kasus ini terus dikembangkan karena masih banyak korban yang akan melapor setelah 19 orang korban dipulangkan ke tanah air.
Para tersangka dijerat dengan pasal 10 dan atau pasal 11 jonto pasal 6 UU No 21 tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), dengan ancaman hukuman 3 hingga 15 tahun penjara dan denda Rp 120 juta hingga Rp 600 juta.
Baca juga: Jaringan Perdagangan Orang Maroko, Arab Saudi, Turki, dan Suriah Raup Miliaran Rupiah
Serta pasal 76f jonto pasal 83 UU Perlindungan Anak nomer 23 tahun 2002 sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Perlindungan Anak tahun 2014, untuk tersangka Asmin dan Evi yang mengirim anak dibawah umur ke Suria.
Selain ancaman hukuman pada pasal TPPO, mereka juga terancam hukuman 3 hingga 15 tahun penjara dengan denda Rp 60 juta hingga Rp 300 juta, atau pasal berlapis.
Terungkapnya kasus TPPO atas anak dibawah umur ke Negera konflik, ditanggapi serius oleh Ketua Divisi Advokasi Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTB, Joko Jumadi.
Menurut Joko kasus perdagangan anak ke negara konflik untuk dipekerjakan baru pertama kali masuk catatan LPA NTB, jikapun ada tidak ke negara-negara yang tengah berkonflik.
"Ini baru pertama kali masuk catatan kita, tapi ini sebenarnya adalah fenomena gunung es di Indonesia, saya yakin ini terjadi dibeberapa wilayah di Indonesia, Lombok NTB salah satunya yang baru ketahuan ada sindikat perdagangan Anak dibawah umur ke negara yang tengah berkonflik," kata Joko.
Baca juga: Terlibat Kasus Perdagangan Manusia, Kepala Desa di NTT Ditangkap Polisi
Joko juga menyarankan agar pemerintah dan aparat kepolisian segera memotong rantai sindikat perdagangan anak menuju negara berkonflik seperti di Suriah.
Sebagai salah satu upaya LPA mengantisipasi kasus TPPO terhadap anak bisa ditekan , LPA tengah mengembangkan program untuk perbaikan sistem administrasi kependudukan di 6 kabupaten di NTB.
Dengan tujuan, salah satunya adalah supaya administrasi kependudukan ini berjalan bagus, dengan harapan tidak ada lagi pemalsuan pemalsuan dokumen kependudukan.
"Saya juga heran kenapa masuh bisa atau dimungkinkan adanya KTP manual, apa mungkin karena 4 tahun lalu ya. harapannya sekarang dengan perbaikan sistem kependudukan, semua akan harus punya KTP, semua anak harus punya akte kelahiran, semua anak harus punya KIA (Kartu Identitas Anak), ini bisa mempersempit gerak memalsukan identitas ana," tekan Joko.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan