Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sindikat Perdagangan Orang ke Suriah Terbongkar, Anak di Bawah Umur Jadi Korban

Kompas.com - 18/06/2019, 18:49 WIB
Fitri Rachmawati,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

MATARAM, KOMPAS.com - Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat (Polda NTB) terus mengembangkan kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) ke Damaskus, Suriah. Polda NTB membongkar jaringan atau sindikat TPPO menuju negara konflik tersebut.

Awalnya Polda NTB membekuk lima orang tersangka kasus TPPO yang memberangkatkan 19 korbannya melalui jalur ilegal ke Timur Tengah pada April 2019 lalu.

Setelah dilakukan pengembangan kasus, Polda NTB, mendapati fakta baru. Sebanyak dua dari lima tersangka yang merupakan gembong atau sindikat TPPO, ternyata mengirimkan korban yang merupakan anak di bawah umur. 

Keduanya yakni Baiq Asmin (48), warga Kuripan Lombok Barat dan Baiq Hafizahara alias Evi, warga Lombok yang menetap di Kota Malang, Jawa Timur.

Baca juga: Polda Kalbar Periksa 7 Orang Terkait Sindikat Perdagangan Orang dengan Modus Kawin Kontrak

Sementara korban anak tersebut bernama UH (13) yang awalnya dijanjikan akan dikirim ke Abu Dhabi. UH diiming-imingi gaji sekitar Rp 6 juta per bulan. 

Selain korban UH, kedua tersangka juga merekrut kakak kandung UH, yakni SH (20). SH juga dijanjikan dikirim ke Abu Dhabi dengan iming-iming gaji sama yakni Rp 6 juta per bulan.

Dijanjikan gaji Rp 6 juta per bulan

Menurut keterangan Baiq Asmin ke polisi, kedua kakak beradik tersebut sebelum diberangkatkan ke negara tujuan, dilakukan pembuatan paspor, KTP (Kartu Tanda Penduduk), hingga medical check up. Seluruh biaya administrasi tersebut ditangung tersangka Baiq Asmin.

"Identitas korban UH yang masing anak-anak dipalsukan tersangka dengan membuatkan korban KTP manual, bukan e-KTP atau KTP elektronik," terang Kasubdit IV Direskrimsus Pokda NTB, Ni Made Pujawati, Selasa (18/6/2019).

Pujawati mengatakan setelah seluruh identitas dituntaskan sebagai dokumen keberangkatan, termasuk identitas UH yang dipalsukan, keduanya diberangkatkan dari Bandara Internasional Lombok menuju Batam, pada tahun 2015 silam. 

Baca juga: Terlibat Perdagangan Orang dengan Modus Kawin Kontrak, 2 WNA China Diamankan

Keduanya kemudian ditampung selama beberap hari di Batam. Kemudian dari Batam, kedua korban diberangkatkan menuju Malaysia dengan mengunakan kapal feri, lalu ditampung selama beberapa hari di Malaysia sebelum diberangkatkan menuju Abu Dhabi.

"Kenyataannya kedua korban tidak dipekerjakan di Abu Dhabi, karena dari Abu Dhabi korban dikirim ke Damaskus di Suria, di negara yang sedang berkonflik sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT)," kata Pujawati.

Selama berada di Suria, janji gaji sebesar Rp 6 juta hanya tipuan lantaran kedua korban hanya diberikan gaji Rp 2,3 juta per bulan.

Korban juga mendapatkan kekerasan fisik dan tidak dibebaskan untuk berkomunikasi dengan siapapun termasuk keluarganya.

Kasus ini terungkap setelah belasan korban melaporkan apa yang mereka alami, termasuk dua korban TPPO kakak beradik dari Lombok Utara ini.

Baca juga: Polisi Pulangkan 3 Wanita Diduga Korban Perdagangan Manusia di Papua

Korban lari ke KBRI

Perekrutan para korban kata Pujawati memang terjadi tahun 2015 atau 4 tahun silam, namun korban baru kembali dan melaporkan kasus mereka 2019 ini.

Awal 2019, orang tua (Ibu) korban UH dan SH sempat menghubungi Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Suriah untuk melaporkan apa yang dialami kedua anaknya. 

Berdasarkan laporan itu, KBRI Suriah menghubungi majikan korban dan minta korban diantarkan ke KBRI. Setelah itu korban ditampung selama 1 bulan di KBRI Suriah sebelum dipulangkan ke Jakarta dan kampung halamannya di Lombok Utara (NTB).

Di Jakarta, korban ditampung selama 22 hari di Rumah Perlindungan/Trauma Center (RPTC) Bambu Apus Jakarta Timur, hingga dipulangkan ke Mataram 18 Mei 2019 lalu. 

Baca juga: Polisi Ungkap Jaringan Perdagangan Orang ke Maroko, Suriah, Arab Saudi, dan Turki

Sebelum tiba di kampung halamannya di Lombok Utara, korban ditampung di RPTC Dinas Sosial Pemprov NTB selama dua hari sebelum dijemput ibu kandungnya.

Barang bukti yang diamankan aparat adalah, satu buah paspor, KTP asli dan akte kelahiran atas nama HU dan SH, serta satu lembar Kartu Keluarga (KK) yang sudah di legalisir.

Tersangka dikenakan pasal berlapis

Penahanan terhadap lima tersangka TPPO dilajukan sejak April 2019 lalu. Semenjak itu, kasus ini terus dikembangkan karena masih banyak korban yang akan melapor setelah 19 orang korban dipulangkan ke tanah air.

Para tersangka dijerat dengan pasal 10 dan atau pasal 11 jonto pasal 6 UU No 21 tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), dengan ancaman hukuman 3 hingga 15 tahun penjara dan denda Rp 120 juta hingga Rp 600 juta.

Baca juga: Jaringan Perdagangan Orang Maroko, Arab Saudi, Turki, dan Suriah Raup Miliaran Rupiah

Serta pasal 76f jonto pasal 83 UU Perlindungan Anak nomer 23 tahun 2002 sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Perlindungan Anak tahun 2014, untuk tersangka Asmin dan Evi yang mengirim anak dibawah umur ke Suria.

Selain ancaman hukuman pada pasal TPPO, mereka juga terancam hukuman 3 hingga 15 tahun penjara dengan denda Rp 60 juta hingga Rp 300 juta, atau pasal berlapis.

Pemalsuan dokumen kependudukan

Terungkapnya kasus TPPO atas anak dibawah umur ke Negera konflik, ditanggapi serius oleh Ketua Divisi Advokasi Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTB, Joko Jumadi.

Menurut Joko kasus perdagangan anak ke negara konflik untuk dipekerjakan baru pertama kali masuk catatan LPA NTB, jikapun ada tidak ke negara-negara yang tengah berkonflik.

"Ini baru pertama kali masuk catatan kita, tapi ini sebenarnya adalah fenomena gunung es di Indonesia, saya yakin ini terjadi dibeberapa wilayah di Indonesia, Lombok NTB salah satunya yang baru ketahuan ada sindikat perdagangan Anak dibawah umur ke negara yang tengah berkonflik," kata Joko.

Baca juga: Terlibat Kasus Perdagangan Manusia, Kepala Desa di NTT Ditangkap Polisi

Joko juga menyarankan agar pemerintah dan aparat kepolisian segera memotong rantai sindikat perdagangan anak menuju negara berkonflik seperti di Suriah.

Sebagai salah satu upaya LPA mengantisipasi kasus TPPO terhadap anak bisa ditekan , LPA tengah mengembangkan program untuk perbaikan sistem administrasi kependudukan di 6 kabupaten di NTB.

Dengan tujuan, salah satunya adalah supaya administrasi kependudukan ini berjalan bagus, dengan harapan tidak ada lagi pemalsuan pemalsuan dokumen kependudukan.

"Saya juga heran kenapa masuh bisa atau dimungkinkan adanya KTP manual, apa mungkin karena 4 tahun lalu ya. harapannya sekarang dengan perbaikan sistem kependudukan, semua akan harus punya KTP, semua anak harus punya akte kelahiran, semua anak harus punya KIA (Kartu Identitas Anak), ini bisa mempersempit gerak memalsukan identitas ana," tekan Joko.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com