Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Devi Lolos Tes CPNS: 8,5 Tahun Jadi Guru Honorer, Bayar Kuliah Pakai Uang Hasil Parkir

Kompas.com - 13/05/2019, 09:46 WIB
M Agus Fauzul Hakim,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

KEDIRI, KOMPAS.com - Setiap pencapaian pasti menorehkan cerita tersendiri. Seperti kisah Devi Ratih Oktavia (28), seorang perempuan yang lolos tes calon pegawai negeri sipil (CPNS) 2019 setelah melewati hidup yang penuh perjuangan.

Diterima menjadi CPNS seolah menjadi kemenangan Devi untuk mengalahkan gengsi.

Perempuan asal Desa Gogorante, Kabupaten Kediri, Jawa Timur itu berhasil lolos tes CPNS di Pemerintah Kabupaten Nganjuk sebagai guru sekolah dasar di SDN Cerme.

Dia baru saja dilantik langsung bersama beberapa CPNS lainnya oleh Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat, bupati muda yang menjadi idola warga Nganjuk, pada awal Mei 2019 ini.

"Allah telah membuat banyak keajaiban dalam hidup saya," ujar Devi saat dikonfirmasi via ponsel, Minggu (12/5/2019).

Baca juga: Penipuan Lolos CPNS Kembali Terjadi, Ini Imbauan Polisi

Bagi Devi, menjadi pegawai negeri sipil (PNS) merupakan pencapaian yang sangat membanggakan. Sebuah cita-cita pribadi dan juga balas budi atas jerih payah kedua orang tuanya selama ini.

Bayar kuliah dengan uang pecahan Rp 2.000

Ingatannya langsung tertuju pada saat awal-awal lulus sekolah tingkat SMA dulu. Dia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Kuseri, ayahnya, mati-matian mengupayakan kelanjutan pendidikannya.

Secara logika ekonomi, kondisi keuangan kekuarganya mustahil bisa menghantarkannya melanjutkan sekolah ke jenjang perguruan tinggi.

Sebab, ayahnya hanya seorang petugas parkir di sebuah pasar. Namun ayahnya ternyata mempunyai tekad kuat.

Baca juga: Kisah Mahasiswa Papua Lulus Magna Cum Laude dari Universitas di AS, Ingin Pulang Kampung hingga Bakar Batu di Oregon

Ayah Devi mengumpulkan uang sedikit demi sedikit hingga mampu membayar uang pendaftaran kuliahnya di sebuah kampus kependidikan di Kediri dan ambil jurusan Pendidikan Guru SD.

"Ada bapak lainnya yang bela-belain beli hape buat anaknya, tapi bapakku nabung dikit demi sedikit demi nguliahin saya," sambungnya.

Selama kuliah, Devi kerap membayar uang kuliahnya dengan uang pecahan Rp 1.000 dan Rp 2000.

Karena uang pecahan kecil itu, tumpukan yang dibawanya bisa sampai segepok. Kondisi uang itu pun cukup lusuh karena memang uang hasil parkir ayahnya.

Baca juga: Kisah Inggried, Gadis Gunung Kidul Peraih UNBK Tertinggi Se-DIY

Para teller bank tempat pembayaran kuliah maupun petugas administrasi kampusnya sudah hafal betul dengan kebiasaan Devi itu. Namun saat itu mereka menyangkanya sebagai uang hasil pecah celengan.

"Kadang teller itu terlihat bolak-balik bersihkan tangan karena debu uang lusuh," kenang Devi.

Devi mengaku tidak pernah merisaukan penilaian orang dengan pola pembayarannya itu. Meski dia tahu betul ada yang meremehkannya, namun dia cuek menghadapinya.

Cerita Devi kuliah: naik sepeda, hanya punya 2 potong baju

Urusan transportasi, Devi juga harus menerima kondisinya yang cukup berbeda dengan teman-temannya. Dengan jarak tempuh yang cukup jauh antara kampus dan rumahnya, dia melibasnya dengan sepeda.

Sepeda itulah yang menemaninya menerjang panas maupun hujan dengan menempuh jarak 24 kilometer pulang pergi agar tidak sampai ketinggalan jam kuliah.

Sepedanya itu bahkan mendapat tempat tersendiri kala di tempat parkir kampus. Sebab, itu merupakan satu-satunya sepeda angin di antara jajaran sepeda motor milik mahasiswa lainnya.

"Biasa dijejalkan di tempat khusus oleh pak parkir," ujarnya.

Bahkan soal pakaian, saat kuliah dulu bajunya juga hanya dua potong. Dia memakainya secara bergantian. Itu karena baju itulah yang dinilainya paling layak dipakai kuliah daripada baju lainnya.

Baca juga: Usai Tes CPNS di Pekanbaru, Siska Tewas Kecelakaan Bersama Adiknya

Dia merasa sedih kalau musim penghujan tiba. Acapkali bajunya basah kena hujan saat berangkat kuliah naik sepeda.

Tidak hanya baju, tetapi juga sepatunya yang basah kuyup. Maka di dalam kelas dia akan berjibaku antara konsentrasi pelajaran dengan dinginnya pakaian yang basah.

"Kalau sudah basah, saya tutupi dengan jaket," lanjutnya.

Selain basah karena hujan, tentu pakaiannya itu juga kerap basah karena keringat yang bercucuran. Itu karena banyak tenaga yang harus dikeluarkannya untuk mengayuh sepeda anginnya.

Jadi guru honorer selama 8,5 tahun

Apalagi, meski menempuh jarak yang cukup jauh, dia kerap menahan dahaga. Sebab Devi tidak pernah membawa uang saku. Uang yang dibawanya hanyalah uang untuk persiapan jika sewaktu-waktu bannya bocor.

"Untuk jaga-jaga bayar tambal ban saja," ungkapnya.

Hingga kemudian secara perlahan dia mulai mandiri dengan bekerja serabutan, terutama guru privat.

Alhasil seiring berjalannya waktu, dia mampu membeli motor bekas yang lumayan menggantikan sepeda anginnya.

Dia kemudian menjadi guru honorer di sebuah SD di pinggiran Kota Kediri. Dia menjalaninya selama 8,5 tahun sebelum akhirnya lolos tes CPNS di Nganjuk.

Baca juga: Kisah Guru Honorer di Daerah Terpencil Sumedang, Honor Rp 300.000, Jalan Kaki 10 Km

Oleh sebab itu, dengan status barunya sebagai PNS itu, merupakan pencapaian yang cukup membanggakannya.

Sebuah angan-angan yang sejak awal dia idamkan guna membalas budi orang tua dan orang-orang terdekat yang selalu mendukungnya.

Serta, sebuah kesempatan untuk mengamalkan ilmu-ilmu yang telah direngkuhnya dari bangku kuliahnya dengan penuh cita.

"Hasil tidak akan mengkhianati proses, jika kita ikhlas menjalani profesi yang kita cintai." pungkas Devi.

Kisah Devi ini juga ditulisnya melalui akun Facebooknya dengan nama yang sama, Devi Ratih Oktavia, pada 9 Mei 2019. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com