KOMPAS.com – Proses pengambilan suara dari pemilih penderita gangguan jiwa akan diatur sedemikian rupa sehingga hasil pilihannya sangat terjaga. Mulai dari penentuan pemilih, sosialisasi, hingga pengambilan suara.
Sebelumnya, beberapa pihak sempat menyangsikan suara yang berasal dari para penderita kesehatan mental potensial untuk disalahgunakan dan disisipi kepentingan kelompok tertentu.
Salah satu keraguan disampaikan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad yang menyampaikan pendapatnya pada 20 November 2018, sebagaimana dikutip dari Tribunnews.com.
“Jika orang gila diberi hak pilih, maka hasil pemilu bisa diragukan kualitasnya," kata Dasco.
Menurut dia, suara-suara dari orang dengan gangguan jiwa ini membuka peluang terjadinya manipulasi dan pengarahan untuk memilih satu calon tertentu.
Baca juga: Orang dengan Gangguan Jiwa Bisa Jadi Pemilih Tetap, asalkan...
Kepala Humas Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Surakarta, Totok Haryanto, menepis keraguan terkait suara para penderita gangguan jiwa dalam Pemilu 2019
Menurut dia, pasien yang ada di rumah sakit akan diperiksa secara khusus oleh dokter ahli jiwa untuk memastikan apakah mereka tergolong siap dan mampu untuk menjadi pemilih.
Tidak semua pasien diperiksa. Hanya pasien-pasien dengan kondisi tenang dan stabil yang diuji menggunakan kuesioner dan wawancara oleh dokter.
Mereka yang masih dalam kondisi akut atau bingung, tidak dilibatkan dalam pemeriksaan, apalagi pemilu.
Baca juga: Jangan Salah Paham, Tak Semua Orang dengan Gangguan Jiwa Bisa Mencoblos
Komisi Pemilihan Umum (KPU) datang langsung dan melakukan sosialisasi di rumah sakit untuk mengedukasi para calon pemilih.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.