Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Upaya RSJ dan KPU agar Pemilu bagi Pasien Gangguan Jiwa Bebas Intervensi

Kompas.com - 22/03/2019, 11:20 WIB
Luthfia Ayu Azanella,
Bayu Galih

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Proses pengambilan suara dari pemilih penderita gangguan jiwa akan diatur sedemikian rupa sehingga hasil pilihannya sangat terjaga. Mulai dari penentuan pemilih, sosialisasi, hingga pengambilan suara.

Sebelumnya, beberapa pihak sempat menyangsikan suara yang berasal dari para penderita kesehatan mental potensial untuk disalahgunakan dan disisipi kepentingan kelompok tertentu.

Salah satu keraguan disampaikan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad yang menyampaikan pendapatnya pada 20 November 2018, sebagaimana dikutip dari Tribunnews.com.

“Jika orang gila diberi hak pilih, maka hasil pemilu bisa diragukan kualitasnya," kata Dasco.

Menurut dia, suara-suara  dari orang dengan gangguan jiwa ini membuka peluang terjadinya manipulasi dan pengarahan untuk memilih satu calon tertentu.

Baca juga: Orang dengan Gangguan Jiwa Bisa Jadi Pemilih Tetap, asalkan...

Pemeriksaan khusus

Kepala Humas Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Surakarta, Totok Haryanto, menepis keraguan terkait suara para penderita gangguan jiwa dalam Pemilu 2019

Menurut dia, pasien yang ada di rumah sakit akan diperiksa secara khusus oleh dokter ahli jiwa untuk memastikan apakah mereka tergolong siap dan mampu untuk menjadi pemilih.

Tidak semua pasien diperiksa. Hanya pasien-pasien dengan kondisi tenang dan stabil yang diuji menggunakan kuesioner dan wawancara oleh dokter.

Mereka yang masih dalam kondisi akut atau bingung, tidak dilibatkan dalam pemeriksaan, apalagi pemilu.

Baca juga: Jangan Salah Paham, Tak Semua Orang dengan Gangguan Jiwa Bisa Mencoblos

Sosialisasi KPU

Komisi Pemilihan Umum (KPU) datang langsung dan melakukan sosialisasi di rumah sakit untuk mengedukasi para calon pemilih.

Sosialisasi yang dilakukan, menurut Totok, lebih kepada bagaimana cara mencoblos yang benar sehingga suara mereka dianggap sah.

Tidak ada pihak lain yang lebih berwenang untuk melakukan sosialisasi ini, selain KPU. Jika petugas rumah sakit melakukannya pun, itu dengan sepengawasan KPU.

"Tidak ada pengarahan, ada KPU juga, didampingi," ucap Totok.

Sejauh ini, para pasien belum mengetahui nama-nama calon ataupun partai politik yang ada. Contoh surat suara yang diberikan tidak memuat nama calon dan partai politik, melainkan menggunakan simbol-simbol tertentu.

Misalnya Partai Jeruk, Partai Rambutan, dan sebagainya. Bagian nama caleg dan foto pun masih dikosongkan.

Bebas Intervensi dan kampanye gelap

Para pemilih penderita gangguan jiwa yang ada di RSJD Surakarta dapat dipastikan bebas dari intervensi siapa pun.

Totok menyebut, petugas tidak diperkenankan untuk mengintervensi seorang pasien untuk memilih calon tertentu. Jangankan mengintervensi, menyebut salah satu nama dan menceritakannya kepada pasien pun dapat diganjar dengan sanksi berat.

"Misalnya kita keluar, di kampung foto ketemu sama mereka (caleg) terus menandakan, 'ini paslon 1', itu kena (pelanggaran), dapat sanksi berat sampai ke pemecatan sanksinya. PNS semua di Indonesia, enggak memihak," kata Totok.

Kampanye terselubung juga dapat dipastikan tidak dapat dilakukan di rumah sakit ini. Selain tidak sembarang orang bisa masuk dan berkomunikasi dengan pasien, kampanye di RSJ juga dinilai sebagai sesuatu yang sia-sia.

"Pasti enggak boleh (caleg menemui pasien). Dan percuma, karena pasien kami kan paling lama 30 hari. Dia mau sosialisasi sekarang ya yang nyoblos (nanti) sudah ganti," ujar Totok.

Memilih tanpa pendamping

Terakhir, para pasien yang dinyatakan bisa memilih nantinya tidak akan didampingi saat di dalam bilik suara. Mereka dinilai bisa melakukannya sendiri dan mampu bertanggung jawab atas pilihannya nanti.

Sehingga, kemungkinan kecurangan dari pihak tertentu sangat kecil untuk dilakukan.

Pendampingan dan penjagaan hanya dilakukan dari bangsal perawatan hingga TPS, untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.

"Enggak, di dalam (mereka) sendiri. Pendampingan itu kan boleh, tapi ada syarat-syarat tertentu misal disabilitas yang cacat nggak punya tangan," ucap Totok.

Baca juga: Penderita Gangguan Jiwa Tak Didampingi Saat Mencoblos dalam Pemilu 2019

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com