Epi mengaku pernah ada warga yang mempertanyakan kebijakan sekolah menerima Adul.
"Ya, SLB yang terdekat lokasinya cukup jauh dari kediaman keluarga. Dan, pertimbangan ekonomi keluarga juga menjadi alasan kami menerima Adul," tutur dia.
"Kalau memang anak ini mampu kenapa harus kami tolak masuk sekolah kami," kata Epi.
Baca Juga: Saat Anak SD Teriak Petugas Pajak Jahat di Depan Sri Mulyani...
Dari rumahnya di kaki perbukitan Gunung Walat menuju sekolahnya, Adul harus melintasi jalan setapak curam.
Bila musim hujan tiba, jalan tersebut sangat licin dan cukup berbahaya. Adul pun harus berhati-hati.
Setelah itu, Adul harus menyeberangi selokan dengan memanfaatkan jembatan terbuat anyaman bambu.
"Perjalanan seperti ini sudah biasa setiap hari," kata ibunda Adul, Pipin, Sabtu siang.
Pipin pun menceritakan, saat awal masuk kelas 1 hingga kelas 2, Adul harus digendong. Setelah masuk kelas tiga, Adul mulai terbiasa berjalan sendiri.
Untuk mencapai sekolahnya, memang tidak dilakukan dengan terus dengan berjalan kaki. Karena, setelah mencapai jalan desa, Adul bisa menumpang motor ojek sekitar 1 kilometer dengan ongkos Rp7.000 sekali jalan.
"Kalau ada uangnya kami pakai ojek. Tapi kalau lagi enggak ada uang ya terpaksa berjalan kaki sampai sekolah begitu juga pulangnya," kata aku Pipin.
Baca Juga: Bocah SD Ciptakan Alat Pengering Sikat Gigi, Ini Alasannya
Sebenarnya, total jarak rumah Adul ke sekolah bila menggunakan jalan kampung yang utama sekitar 5 kilometer.
Namun setelah Kepala SMA Pesantren Unggul Al Bayan mengizinkan Adul melintas melewati area SMA itu, maka jarak tempuhnya menjadi lebih singkat, hanya sekitar 3 kilometer.
"Alhamdulillah, kami sudah mendapatkan izin dari kepala sekolah Al Bayan. Sehingga perjalanan lebih singkat," kata Pipin.