Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

“Bukan HIV yang Membunuh, Tapi Stigma” (1)

Kompas.com - 05/11/2018, 09:33 WIB
Reni Susanti,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

“Padahal, tidak ada yang pengen HIV positif. Tidak ada yang bangga menjadi gay,” tambahnya.

Jenis stigma yang diberikan banyak. Ada yang dicaci maki, dihina, disindir, bahkan diusir dari keluarga karena dianggap memalukan.

Baca juga: Meski Belum Bisa Disembuhkan, HIV Sudah Bisa Dikendalikan

Padahal, saat seseorang divonis HIV, dukungan orang terdekat sangat diperlukan. Namun, jika keluarga tidak hadir di saat-saat sulit tersebut, biasanya sesama Odha akan saling menguatkan.

“Kami juga bikin grup di Whatsapp untuk saling menguatkan, mengingatkan agar disiplin mengonsumsi ARV, dan sharing ketika mendapat masalah, terutama tentang HIV,” imbuhnya.

Jika ada yang mengeluh capek minum ARV, At akan berkata, penderita diabetes dan darah tinggi pun minum obat tiap hari.

Jika mengeluh efek samping obat, ia akan berkata, itu hanya sebentar. Jadi tidak ada alasan untuk tidak meminum ARV.

J (22) merasakan manfaat dari grup tersebut. Karena ia belum berani membuka status HIV dirinya terhadap keluarga, ia merasa dikuatkan dengan diskusi di grup atau pertemuan sesama Odha ketika mengambil obat di rumah sakit.

Hal serupa dirasakan An (36). Di tengah stigma yang selalu ia dapatkan, ia merasa dikuatkan oleh dukungan kelompok komunitas, untuk tetap berkarya, menjalankan hidup sebaik mungkin, dan tetap sehat.

Hidup dengan Stigma

An menceritakan stigma yang ia peroleh sejak kecil di tempat kelahirannya Subang. Ia kerap dikatakan banci oleh orang di sekelilingnya.

Saat kecil pula, ia mendapatkan perlakuan tidak senonoh dari tetangganya.

“Saya mengalami kekerasan seksual dari tetangga. Dia mengancam saya jika bilang ke orangtua. Saya ga ngerti apapun, saya saat itu takut sekali,” ungkapnya.

Sejak kecil, An merasa ada yang beda dengan dirinya. Ia tidak merasa degdegan ketika bertemu perempuan menarik. Lain halnya ketika ia bertemu laki-laki, ia akan merasa degdegan.

Ia sulit menceritakan hal itu. Ia pun bingung harus bercerita pada siapa, karena ia kehilangan sosok ayah, setelah orangtua mereka pisah saat An dalam kandungan.

Baca juga: Gebrakan Bupati Sikka: Tes Darah HIV/AIDS Jadi Syarat Masuk Bekerja

Menginjak dewasa, An pindah ke rumah ayahnya di Jakarta dan bekerja sebagai marketing. Ia mencoba melawan perasaannya dengan memacari perempuan, namun tak berhasil.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com