Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Aiman Witjaksono
Jurnalis

Jurnalis

Di Balik Korupsi Massal Belasan Juta Rupiah DPRD Kota Malang

Kompas.com - 17/09/2018, 08:33 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini


MUNGKIN ada yang tak pernah menyangka, ada pejabat yang kini ditahan karena kasus korupsi ternyata masih tinggal di rumah kontrakan di gang sempit.

Ada banyak cerita yang belum terungkap dari kasus korupsi massal di Malang, Jawa Timur, yang mencetak sejarah. Sebanyak 41 anggota DPRD Kota Malang ditahan KPK. Ini memang bukan kasus pertama.

Sebelumnya, pada 2004, sebanyak 43 anggota DPRD Sumatera Barat terjerat kasus korupsi. Kasus serupa juga pernah terjadi pada 2013 di Papua Barat. Ada 44 anggota DPRD yang ditahan Kejaksaan Agung karena merugikan keuangan negara. Dua kasus ini ditangani Kejaksaan Agung.

Anggota DPRD di Sumatera Barat divonis 4-5 tahun. Sementara di Papua Barat, semua anggota DPRD divonis bebas oleh putusan kasasi Mahkamah Agung.

Di Malang, kasus ini menjadi sejarah karena untuk pertama kalinya KPK menangani kasus korupsi massal anggota DPRD. Besaran uang yang diduga dikorupsi bernilai Rp 12,5 juta untuk anggota dan Rp 50 juta untuk pimpinan.

Sepertinya, inilah nilai korupsi terkecil yang pernah terjerat oleh KPK. Meski bisa jadi dalam perkembangan penyidikan nilai uangnya bisa bertambah. Sebab, dari penelusuran saya, ada uang “abu-abu” yang berkeliaran di “bisnis” proyek dan pemulusan anggaran DPRD Kota Malang.

Suap tetaplah suap

Bagaimanapun suap adalah suap. Ini bukan perkara besar kecilnya uang. Undang-Undang Tipikor Nomor 31 Tahun 1999 yang diperbarui dengan Undang-Undang Tipikor Nomor 20 Tahun 2001 tidak menyebutkan berapa jumlah uang. Suap adalah uang yang diterima penyelenggara negara berapa pun nilainya.

Kenapa penyelenggara negara? Kenapa pula jumlah uang tidak menjadi ukuran?

Karena, berapa pun uangnya, suap bisa mempengaruhi kemerdekaan kewenangan penyelenggara negara atas jabatan dan kedudukan yang ia emban. Jadi sekali lagi, tak penting nilainya, tapi siapa yang menerima.

Kasus suap anggota DPRD Kota Malang ini memang unik. Selain soal jumlah uang, kondisi sosial Sang Tersangka juga menjadi hal yang tak biasa.

Secara ekslusif saya menelusuri kasus ini dalam program AIMAN di Kompas TV yang akan tayang malam nanti pukul 20.00 wib. 

Tak mudah untuk mencari rumah tersangka yang satu ini. Saya harus menelusuri gang demi gang di Kota Malang, Jawa Timur. Saya bertanya ke kanan dan ke kiri, mencari tetangga yang mungkin mengenalnya.

Akhirnya saya bertemu dengan seorang tetangga yang mengarahkan pencarian saya. Rumahnya ternyata masih jauh, sekitar 1 km. Rupanya berita tentang Sang Tersangka menyebar cepat di kalangan warga di lorong-lorong Kota Malang.

Terkejut

Terus terang saya terkejut ketika tiba di rumah tersangka. Saya tidak mendapati rumah mentereng dengan fasad mewah. Saya justru mendapatkan rumah tahun 80-an yang sebagian besar catnya sudah mengelupas, tanpa tanaman hias, kecuali bunga bakung dan alang-alang.

Tapi, bukan seperti lagu grup musik God Bless yang populer di tahun 90-an, rumah salah seorang tersangka korupsi APBD Kota Malang yang saya datangi adalah rumah kontrakan, bukan “rumah kita” (dia, istri, dan anak-anaknya).

Yang memprihatinkan, sang istri kini lebih banyak mengunci diri di rumah bersama anak-anaknya yang masih SD dan TK. Ia tidak bekerja.

Saya bertanya kepada tetangga terdekat, dari mana kemudian makan sehari-hari dia dapatkan?

Tetangga yang juga Ketua RW di sana menyebut, warga siap membantu. Namun, sejauh ini keluarga itu belum pernah meminta bantuan kepada warga. Ia masih memiliki orangtua yang tinggal di kota yang sama.

Istri tersangka korupsi juga tak pernah kelihatan pasca-suaminya ditahan KPK. Dua kali ia terlihat setiap hari: saat mengantar dan menjemputnya anaknya di sekolah.

Korbannya adalah keluarga 

Rumah tersangka kedua yang saya datangi di Kota Malang juga terletak di sebuah gang. Bedanya, ini adalah rumah sendiri, peninggalan orang tua, bukan rumah kontrakan. Nilai korupsinya sama, Rp 12 juta.

Kali ini saya bertemu dengan anaknya yang tengah berjuang mencari kerja. Ia tak menyelesaikan S-1. Kuliahnya putus di tengah jalan sebelum ayahnya ditahan. Bekalnya mencari kerja hanya ijazah SMA.

Ia mengaku menyesal tidak menyelesaikan kuliah. Ia kini menjadi tulang punggung keluarga dalam kondisi tidak bekerja. Susah mencari kerja hanya bermodal ijazah SMA, kata dia.

Beban sebagai tulang punggung keluarga berat. Ia harus menghidupi 3 keluarga yaitu neneknya, keluarga intinya, dan satu adik ayahnya. Tak ada yang bekerja di sana. Sang anak masih terus berusaha.

Andai saja bapak-bapak anggota DPRD yang terhormat itu bisa berpikir tentang dampak yang disebabkan oleh perbuatannya, barangkali ia menahan diri atas godaan uang Rp 12 juta.

Tapi sekali lagi, Rp 1 atau Rp 1 triliun, korupsi tetapkah korupsi. Mereka sudah berlaku tidak jujur. Menurut undang-undang, mereka telah mengkhianati rakyat. Keluarga mereka kini menjadi korbannya.

Saya Aiman Witjaksono...
Salam!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com