JAKARTA, KOMPAS.com – Seorang dokter muda asal Aceh, Amalia Usmaianti (28), melakukan pengabdian bersama Tim Nusantara Sehat Kementerian Kesehatan selama satu tahun terakhir di Distrik Ninati, Kabupaten Boven Digoel, Papua.
Tepatnya, sejak Mei 2017.
Pengalaman selama satu tahun terakhir berada di pedalaman Papua ini, dibagikan Amalia melalui akun Facebook-nya, dan mendapatkan perhatian dari para warganet.
Kepada Kompas.com, Kamis (14/6/2018), Dokter Amalia berbagi lebih banyak kisah mengenai Distrik Ninati dengan segala keterbatasannya.
Baca juga: Foto-fotonya Bertugas di Pedalaman Papua Viral, Ini Kisah Dokter Amalia
Distrik ini bagian dari Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua, dan terdiri dari 5 kampung yakni Kawaktembut, Ninati, Tembutka, Timka, dan Upyetetko.
Amalia mengungkapkan, dari 5 kampung itu, hanya Kampung Tembutka yang jalanannya sudah beraspal.
Selebihnya, jalanan di kampung-kampung lain masih berupa jalanan tanah liat yang akan lembek dan sulit dilalui ketika hujan turun.
Jalanan itu terbentang di antara hutan Papua yang lebat. Jika malam datang, masih sering dijumpai binatang melata yang melintas, misalnya ular.
Selain keadaan jalan yang masih seadanya, ketersediaan air di distrik ini juga tidak kalah menyedihkan.
Baca juga: Jokowi Akui Sulit Pindahkan Warga Asmat di Pedalaman ke Rumah Baru
Dokter Amalia mengatakan, di Kampung Ninati yang ditinggalinya, bak mandi baru akan terisi saat hujan.
Selebihnya, untuk keperluan mandi dan mencuci, masyarakat datang dan memanfaatkan sungai di kampung.
Keterbatasan listrik
Listrik di distrik ini juga sangat bergantung dengan ketersediaan solar sebagai bahan bakunya.
Jika solar tersedia, maka Kampung dapat teraliri listrik. Demikian sebaliknya.
Ketersediaan solar tidak dapat dipastikan waktunya. Jadi, ada tidaknya listrik tidak dapat dipastikan.
Begitu juga urusan teknologi komunikasi. Sinyal provider sangat sulit didapatkan di sana, apalagi jaringan internet
Baca juga: Kepiluan Warga Pedalaman Saat Kemarau Melanda...
Keterbatasan-keterbatasan inilah yang menghambat kemajuan di distrik Ninati, dan mungkin wilayah pedalaman lainnya di Indonesia.
Keterbatasan teknologi komunikasi tersebut menyebabkan tidak adanya pembaruan informasi yang didapat dari dunia luar.
Selain itu, apa yang dialami warga pedalaman jarang sekali terekspos.
Bertanam
Adapun, mayoritas masyarakat Ninati bekerja dengan menanam sayur, mencari ikan di sungai, dan mencari kayu bakar di hutan.
Hasil itu mereka gunakan untuk konsumsi sehari-hari dan dijual ke pasar yang berada di distrik lain.
Selebihnya, biaya hidup masyarakat di Distrik Ninati didapatkan melalui dana yang dibagikan setiap trimester sekitar Rp 3-4 juta.
Baca juga: Kisah Memprihatinkan Siswa dan Guru di Pedalaman Bengkulu
Di distrik Ninati, tidak ada proses jual beli karena tidak ada pasar. Pasar ada di distrik lain yang berjarak 30 km dari Ninati.
Sehingga, sistem barter masih menjadi satu-satunya cara untuk mendapatkan barang pemenuh kebutuhan.
Barter ini juga dilakukan oleh tim medis dan para tentara perbatasan yang bertugas di sana.
Amalia berharap dengan kisah yang dibagikannya, akan ada perubahan yang bisa dilakukan untuk kemajuan wilayah pedalaman.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.